Kekerasan terhadap perempuan salah satunya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) adalah pelanggaran hak asasi manusia. Istilah KDRT yang ada dalam Pasal 1 UU Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) adalah semua perbuatan kepada perempuan yang menimbulkan kesengsaraan fisik, seksual, psikologis, penelantaran ekonomi, serta ancaman yang melawan secara hukum dalam lingkup rumah tangga. Di dalam undang-undang ini, setiap pelaku akan dikenakan hukuman paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp. 25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah).
Meskipun KDRT sudah diatur dalam undang-undang. Pada kenyataanya masih banyak kasus KDRT mucul disekitar kita. Data dari WCC Jombang sebagai LSM yang mendampingi perempuan korban kekerasan. Angka kekerasan terhadap wanita meningkat dari tahun 2016 yang awal mula hanya ada sebesar 53 kasus dan meningkat pada tahun 2017 menjadi 62 kasus.
Melihat fenomena kekerasan yang masih ada di masyarakat WCC Jombang menyatakan bahwa mereka menginginkan partisipasi langsung dari masyarakat. Wujud partisipasi masyarakat yang dimaksud keterlibatan masyarakat diantaranya membentuk komunitas peduli perempuan di setiap kecamatan yang ada di Kabupaten Jombang. Selama magang peneliti menemukan realita bahwa ada salah satu komunitas binaan WCC Jombang yang berbeda dengan komunitas-komunitas lainnya. Komunitas itu bernama komunitas Sekar Arum yang berlokasi Desa Mojongapit Jombang.
Berdasarkan fenomena tersebut peneliti melihat bahwa disatu sisi mereka sebagai konselor harus menjadi seseorang yang profesional karena mereka harus bisa menyelesaikan masalah yang dialami oleh klien yang datang kepada mereka dengan baik dan di waktu yang bersamaan mereka harus mengesampingkan masalah pribadinya meskipun kasus yang mereka tangani tidak jauh berbeda dengan kasus yang pernah atau sedang mereka alami pada saat ini. Tapi di sisi yang lain Komuintas Sekar Arum sendiri adalah korban KDRT yang memilih bertahan dengan pernikahannya, sehingga tidak menutup kemungkinan mereka masih menerima kekerasan dari suaminya dan seperti korban kekerasan yang lainnya, Komunitas Sekar Arum juga membutuhkan support dari berbagai pihak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi panggung depan dan panggung belakang konselor sekar arum dalam mendampingi korban kekerasan dan menganalisis praktik dramaturgi yang diperankan oleh konselor sekar arum. Lokasi penelitian berada di komunitas sekar arum yang berada di Desa Mojongapit Kabupaten Jombang. Penelitian menggunakan teori dramaturgi dari Erving Goffman. Penelitian ini menggunakan metode etnografi James P. Spradley yang berusaha membongkar panggung depan dan panggung belakang informan secara bertahap.
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pada panggung depan yang didalamnya ada setting untuk meyakinkan orang lain bahwa mereka sebagai konselor, anggota komunitas sekar arum ini menjalin kerjasama dengan beberapa pihak seperti kepolisian, dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, dinas sosial dan tentunya WCC Jombang. Didukung dengan kemampuan dirinya untuk mendampingi korban dengan mengikuti beberapa pelatihan atau seminar mengenai penanganan korban kekerasan dan komitmen mereka untuk mendampingi dan selalu berada di pihak perempuan korban kekerasan. Semua itu mereka buktikan dengan sudah beberapa kali mendampingi kasus kekerasan sampai selesai tanpa memandang siapa klien, seberat apa kasus, siapa yang bersalah dan seperti apa penyelesaian yang akan dilakukan, mereka melakukan pendampingan dengan baik sesuai tahapan pendampingan yang sudah ditentukan oleh WCC. Namun karena mereka adalah survivor kekerasan, sering kali pendampingan tidak bisa berjalan semulus orang yang benar-benar berprofesi sebagai konselor. Pada panggung belakang anggota komunitas sekar arum masih sering merasakan marah, sedih, terbawa suasana cerita klien yang berdampak pada pemberian saran penyelesaian kepada klien yang datang kepada mereka.
Violence against women is one of the cases of domestic violence (domestic violence) is a violation of human rights. The term domestic violence contained in Article 1 of Law Number 23 of 2004 concerning the Elimination of Domestic Violence (UU PKDRT) is all acts on women which cause physical, sexual, psychological misery, economic neglect, and threats that are legally opposed in the household sphere. In this law, each actor will be subject to a minimum sentence of 5 (five) years and a maximum of 20 (twenty) years or a fine of at least Rp. 25,000,000 (twenty five million rupiah) and a maximum of Rp. 500,000,000 (five hundred million rupiah).
Even though domestic violence has been regulated in law. In fact there are still many cases of domestic violence appearing around us. Data from WCC Jombang as an NGO that accompanies women victims of violence. The number of violence against women increased from 2016, which initially had only 53 cases and increased in 2017 to 62 cases.
Seeing the phenomenon of violence that still exists in the Jombang WCC community states that they want direct participation from the community. The form of community participation that is meant by community involvement includes forming a caring community for women in each sub-district in Jombang Regency. During the internship the researchers found the reality that there was one of the WCC Jombang assisted communities that was different from other communities. The community was named the Sekar Arum community located in Mojongapit Jombang Village.
Based on these phenomena researchers see that on the one hand they as counselors must be someone who is professional because they must be able to solve the problems experienced by clients who come to them well and at the same time they must put aside their personal problems even though the cases they handle are not much different with the case they have or are currently experiencing. But on the other hand Komuintas Sekar Arum itself is a victim of domestic violence who chooses to survive with her marriage, so it is possible that they still accept violence from her husband and like other victims of violence, the Sekar Arum Community also needs support from various parties.
This study aims to identify the front stage and the back stage of the sekar arum counselor in assisting victims of violence and analyzing the practice of dramaturgy played by sekar arum counselors. The research location was in the Sekar Arum community located in Mojongapit Village, Jombang Regency. The study uses the dramaturgy theory of Erving Goffman. This study used the ethnographic method of James P. Spradley who tried to dismantle the front stage and the stage behind the informant gradually.
The results of this study indicate that on the front stage there are settings to convince others that they are counselors, the members of the Sekar Arum community are cooperating with several parties such as the police, women's empowerment services and child protection, social services and of course the Jombang WCC. Supported by his ability to assist victims by attending several trainings or seminars on handling victims of violence and their commitment to accompany and always be on the side of women victims of violence. All of that they proved by several times accompanying cases of violence to completion regardless of who the client is, as heavy as the case, who is guilty and what sort of solution will be done, they provide good assistance according to the stages of assistance that have been determined by the WCC. But because they are survivors of violence, counseling often cannot run as smoothly as someone who is actually a counselor. On the back stage, members of the Sekar Arum community still often feel angry, sad, carried away by the atmosphere of the client's story which has an impact on giving advice to clients who come to them.