Konstruksi Masyarakat tentang Wayang Kulit pada Era Modernisasi di Desa Parengan Kabupaten Mojokerto
Wayang kulit adalah budaya asli indonesia yang memiliki nilai sangat tinggi. Di era kemajuan zaman wayang kulit menjadi sepi peminat. Ada perubahan-perubahan dalam pertunjukan wayang kulit yaitu terlalu banyak acara seperti campursari, dan dangdutan. Acara tersebut mampu menarik penonton menjadi lebih banyak, tetapi hal itu tidak sesuai dengan harapan yang mana, selesai acara tersebut masyarakat pada mengundurkan diri. Hal itu menyatakan bahwa masyarakat tidak menyaksikan pertunjukkan sampai akhir. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui kondisi objektif eksistensi wayang kulit di tengah era modernisasi di desa parengan, kondisi subjektif nilai kearifan lokal wayang kulit, dan konstruksi masyarakat tentang wayang kulit di era modernisasi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode fenomenologi. Prespektif teori yang digunakan adalah teori konstruksi sosial Peter L. Berger. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi objektif eksistensi wayang kulit di tengah modernisasi di desa parengan adalah wayang kulit masih ada tetapi ada perubahan-perubahan yang dirasakan oleh para peminat wayang kulit. Kondisi subjektif nilai kearifa lokal wayang kuit menunjukkan bahwa wayang tidak hanya sebagai media tontonan tetapi tuntunan dan tatanan. Terdapat beberapa nilai kearifan lokal dalam wayang kulit salah satunya adalah budi pekerti. Menurut prespektif teori berger ada tiga dialektika yaitu eksternalisasi, pada tahap ini adanya ketertarikan masyarakat pada wayang kulit dan penyesuaian diri pada era modernisasi. Selanjutnya objektivitas, pembiasaan masyarakat terhadap perubahan dengan menggunakan simbol-simbol yang maknanya dipahami bersama. Tahap terakhir internalisasi, menghayati nilai-nilai kearifan lokal dalam kehidupan masyarakat.
Shadow puppetry is a native Indonesian culture that has very high value. In the era of progress, shadow puppets became less interested. There are changes in performances shadow puppet, namely there are too many events such as campursari and dangdutan. The event was able to attract more viewers, but it did not meet expectations, so after the event the people withdrew. This suggests that people did not watch the show until the end. The aim of the research is to determaine the objective conditions of the existence of shadow puppets in the midst of the modernization era in Parengan vilage, the subjective conditions of the local visdom values of shadow puppets, and the community’s construction of shadow puppets in the era modernization. This research uses a qualitative approach with the Phenomenological method the theoretical perspective used is Peter L.Berger social construction theory. The result of the research show the objective condition for the existence of shadow puppets in the midst of modernization in Parengan village is that shadow puppets still exist but there are changes that are felt by shadow puppets enthusiasts. The subjective condition of local visdom value is shows that puppet is ot only a medium for viewing but for guidance and order. There are several local visdom values in shadow puppets, one of which is character. According to Berger’s theoretical perspective. There are three dialectics, namely externalization at this stage there is people’s interest in shadow puppets and adjustment to the era of modernization. Next is objectivity, people’s habituation to change by using symbols whose meaning is mutually understood. The staage internalization is the appreciate the value of local wisdom in community life.