KARYA TARI BUTAK SARANA DENGAN TIPE TARI DRAMATIK SEBAGAI UNGKAPAN TOLAK BALAK
A DANCE WORK OF BUTAK SARANA WITH A DRAMATIC DANCE TYPE AS AN EXPRESSION OF REJECTING BALAK
Fenomena yang di angkat pada karya tari Butak Sarana adalah kesenian Takbutakan yang ada di Kabupaten Jember tidak di eksplor dan dipromosikan dengan baik. Kesenian Takbutakan hadir ditengah-tengah ritual bersih desa tahunan yang di adakan di Kecamatan Arjasa, dengan tujuan memerangi laep dan menangkal hal-hal buruk yang menimpa lahan pertanian masyarakat. Takbutakan sendiri berasal dari kata butho, dimana butho yang dimaksud memiliki keunikan yaitu sosok yang menyeramkan namun diyakini dapat memberikan bantuan untuk menangkal dan mengusir roh-roh halus. Fakta-fakta ini sangat menarik untuk dijadikan referensi dan bahan untuk dijadikan karya tari dengan memperhatikan makna serta emosi yang akan ditonjolkan. Pentingnya adalah sebagai bentuk penyampaian pesan, bahwasanya kearifan lokal perlu adanya pengelolaan yang baik agar tetap lestari dengan ciri khas kedaerahannya. Fokus karya pada karya tari Buta’ Sarana terdapat dua variabel, variabel bentuk yaitu tipe dramatik, sedangkan variabel isinya ungkapan tolak balak pada ritual bersih desa Takbutakan.
Penciptaan karya tari dan penulisan ini tidak terlepas dari beberapa referensi sajian karya tari beserta penulisannya, beberapa karya sebagai relevansi penciptaan karya tari Buta’ Sarana yaitu, tari Seblang Lulian karya dari M. Tri Ragil Alfan dan Samudiwaragati karya dari Puput Yuliana Safitri. Penciptaan karya tari ini menggunakan pendekatan teori dari Jacqueline Smith yaitu teori Konstruksi I dan teori dramatik, lalu pendekatan dari Sumandiyo Hadi dengan teori bentuknya.
Pendekatan penciptaan karya tari Butak Sarana menggunakan teori dari Jacqueline Smith yaitu metode Kontruksi I, langkah-langkahnya dari metode ini yaitu rangsang awal, tipe tari, mode penyajian, improvisasi, evaluasi improvisasi, seleksi dan penghalusan serta motif. Rancangan kekaryaan pada karya ini yaitu berawal dari tema yang isinya ungkapan tolak balak, judul karya butak Sarana, tipe tari yang digunakan yaitu tipe dramatik. Skenario karya tari ini dimulai pada intro yang menggambarkan laep, adegan 1 flashback, disusul adegan 2 masyarakat gelisah dan kecewa atas kegagalan panennya, klimaknya yaitu upaya masyarakat dalam memerangi laep, dan endingnya masyarakat hidup bahagia kembali. Teknik yang digunakan pada karya ini yaitu teknik gerak tradisional yang dikembangkan, gayanya adalah gaya pendalungan, dan iringannya berupa rekaman. Tata rias yang digunakan lebih kepada mempertebal garis wajah, dan tata busana yang dikenakan juga sederhana. Selanjutnya proses penciptaan, terdapat rangsang awal yang muncul dari ide koreografer dengan melihat objeknya secara langsung, dilanjutkan tahap ekspolari dan kerja studio untuk pencarian gerak serta pembentukan penari, improviasi yang digunakan untuk menggabungkan gerak yang sudah di eksplor dan terakhir evaluasi dari keseluruhan proses.
Analisa pada karya tari Butak Sarana, pertama pada alur cerita yang di awali dari intro dengan suasana tenang dan sedih, adegan kedua penggambaran suasana bahagia dan ceria, pada adegan ketiga menggambarkan suasana sedih dan haru, klimaksnya menggambarkan semangat yang menggebu-nggebu, dan endingnya penggambaran suasana bahagia. Gerak yang digunakan pada karya tari ini merupakan pengembangan gerak tradisional jawa timuran, karena pada dasarnya fenomena yang ditemukan di Kabupaten Jember, Jawa Timur. Tata rias menggunakan pensil coklat untuk bagian garis alis, shading pipi merah bata, dan bagian kelopak mata menggunakan eyeshadow warna coklat, serta menggunakan lipstik merah. Busana yang digunakan juga sederhana yaitu, kebaya dengan motif jaman dahulu yang sederhana, jarit berwarna coklat, dan daun padi kering yang disusun rapi. Properti yang digunakan cukup banyak, yaitu lesung beserta alunya, sepasang topeng Takbutakan, taring palsu berjumlah 6, dan tempeh berjumlah 5. Iringan musik menggunakan software yang menggabungkan beberapa instrumen yang membangun sebuah ritme sesuai dengan adegan yang dibutuhkan. Tempat pertunjukan yang digunakan yaitu, didalam ruangan agar menggambarkan situasi dalam rumah, disawah yang padinya rimbun tumbuh subur, lahan kosong yang kering dan banyak tumbuhan mati, lalu didepan teras rumah mirip lahan kosong. Pencahayaan yang dipakai yaitu, pagi hari, siang hari, dan malam hari.
Karya tari Butak Sarana memiliki tema yaitu sebuah ungkapan tolak balak, terdapat 2 variabel pada karya tari ini yaitu, variabel isi dan bentuk. Variabel isinya yaitu ungkapan tolak balak pada ritual bersih desa Takbutakan, dan variabel bentuk pada karya tari ini menggunakan tipe dramatik. Karya tari Buta’ Sarana merupakan berbasis lingkungan namun tidak ditampilkan secara langsung tetapi melalui media maya atau virtual. Koreografer berharap dengan keterbatasan akibat pandemik COVID-19 seluruh seniman khususnya seniman muda bisa berkarya sesuai dengan ekspetasinya, tanpa ada alasan untuk tetap berkarya dalam kondisi apapun.
The phenomenon that is raised in the work of the Butak Sarana dance is that the art of Takbutakan in Jember Regency is not explored and promoted properly. Takbutakan art is present in the midst of the annual village clean-up ritual held in Arjasa District, with the aim of fighting against laep and warding off bad things that happen to community agricultural lands. Takbutakan itself comes from the word butho, where butho is meant to be unique, that is, a creepy figure but is believed to be able to provide assistance to ward off and exorcise spirits. These facts are very interesting to be used as references and materials to be used as dance works by paying attention to the meanings and emotions that will be highlighted. The importance is as a form of conveying the message, that local wisdom needs good management in order to remain sustainable with regional characteristics. The focus of the work is on the work of the Buta 'dance. There are two variables, the form variable is the dramatic type, while the variable contains the expression of rejecting balak in the clean rituals of the Takbutakan village.
The creation of this dance work and writing is inseparable from several references to the presentation of dance works and their writing, several works as the relevance of the creation of the dance work of Butak Sarana, namely, the Seblang Lulian dance by M. Tri Ragil Alfan and Samudiwaragati by Puput Yuliana Safitri. The creation of this dance work uses a theoretical approach from Jacqueline Smith, namely Construction I theory and dramatic theory, then Sumandiyo Hadi's approach to form theory.
The approach to the creation of the Butak Sarana dance works uses the theory of Jacqueline Smith, namely the Construction I method, the steps of this method are initial stimulation, dance type, presentation mode, improvisation, improvisation evaluation, selection and refinement and motives. The work design in this work begins with a theme which contains the expression reject balak, the title of the Butak Sarana, the type of dance used is the dramatic type. The scenario for this dance work begins at the intro depicting laep, scene 1 flashback, followed by scene 2 the community is restless and disappointed over the failure of their harvest, the climax is the community's efforts to fight laep, and in the end, people live happily again. The technique used in this work is the traditional movement technique that was developed, the style is the puppet style, and the accompaniment is in the form of a recording. The make-up used was more about thickening the lines of the face, and the clothes worn were also simple. Furthermore, the creation process, there is an initial stimulation that arises from the choreographer's idea by seeing the object directly, followed by the expolary stage and studio work for the search for motion and the formation of dancers, improvisation used to combine the movements that have been explored and finally an evaluation of the whole process.
Analysis on the work of the Butak Sarana dance, first the storyline which begins with the intro with a calm and sad atmosphere, the second scene depicts a happy and cheerful atmosphere, in the third scene depicts a sad and emotional atmosphere, the climax describes a passionate spirit, and the ending depiction of a happy atmosphere. The motion used in this dance work is a development of traditional Javanese East Java movements, because basically a phenomenon found in Jember Regency, East Java. Make-up using a brown pencil for the brow line, brick red cheeks shading, and the eyelids using brown eyeshadow, and using red lipstick. The clothes used are also simple, namely, kebaya with simple ancient motifs, brown jarit, and neatly arranged dry rice leaves. The properties used are quite a lot, namely the mortar and pestle, a pair of Takbutakan masks, 6 fake fangs, and 5 tempeh. Musical accompaniment uses software that combines several instruments that build a rhythm according to the scene needed. The place for the performance is used, namely, in the room to describe the situation in the house, in the fields where the rice is lush, dry empty land and lots of dead plants, then in front of the house terrace looks like empty land. The lighting used is morning, daytime and night.
The dance work of Butak Sarana has a theme, namely an expression of rejecting balak, there are 2 variables in this dance work, namely, the variable content and form. The content variable is the expression of rejecting balak in the clean ritual of Takbutakan village, and the form variable in this dance work uses a dramatic type. Buta 'Sarana dance work is environment-based but is not displayed directly but through virtual or virtual media. Choreographers hope that with the limitations caused by the COVID-19 pandemic, all artists, especially young artists, can work according to their expectations, without any reason to keep working in any condition.