ANALISIS WACANA KRITIS PETANI MUDA TERHADAP MATA PENCAHARIAN BERTANI DI MEDIA SOSIAL
CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS OF YOUNG FARMERS ON LIVELIHOODS FARRING IN SOCIAL MEDIA
Fenomena terkait krisis regenrasi petani muda menjadi masalah di Indonesia. Berdasarkan data statistik menunjukkan pekerja petani didominasi oleh golongan petani tua berusia 45-55 tahun dengan 28.22%. Tentunya hal ini berdampak pada ketersediaan bahan pangan penduduk Indonesia. Berbagai faktor penyebab pemuda tidak ingin menjadi petani seperti, pandangan buruk masyarakat, keluarga yang tidak mendukung dan sebagainya. Namun demikian, ternyata masih ada pemuda yang masih bertahan menjadi petani dan memiliki kehidupan yang layak. Terlihat pada empat media sosial yaitu, youtube akun Capcapung, facebook komunitas Petani Muda Indonesia Sukses (PMIS), Instagram akun @akupetani.id, serta tiktok akun @petanimilenial_indonesia. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi objektif petani muda bermata pencaharian bertani di Indonesia, menganalisis tiga dimensi dari Van Dijk, serta menganalisis wacana kritis petani muda. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan pisau analisis wacana kritis dari Teun Van Dijk. Teknik pengumpulan data adalah primer dan sekunder. Untuk primer dilakukan dengan dokumentasi dan observasi yang terbagi menjadi data video yaitu, mengunduh video, mendengarkan video, dan menangkap layar. Data teks yaitu, membaca, mencermati, dan melakukan tangkap layar. Untuk data sekunder berupa jurnal, buku, dan lainnya. Teknik analisis data mengacu pada Teun Van Dijk meliputi, teks, kongnisi sosial dan konteks sosial. Dengan mempertajam penelitian ini menggunakan perspektif teori James S. Coleman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hadirnya media sosial mampu meningkatkan kondisi pertanian petani muda terutama menghadapi berbagai tantangan keterbatasan modal, alat pertanian, dan lahan pertanian. Banyak pula petani yang masih hidup dibawah kesejahteraan dengan pendapat sekitar Rp. 1.000.000. Di samping itu, hasil analisis teks pada empat media sosial menunjukkan adanya perbedaan yang meliputi, topik yang dikaji. Jika youtube berorientasi pada petani muda dan teknologi, facebook dengan informasi petani mudadan pertanian, Instagram ilmu pengetahuan serta informasi petani ataupun pertanian, Tiktok kehidupan petani muda. Sedangkan, pada kognisi sosial peneliti melihat bahwa tedapat kesadaran yang dilakukan petani muda untuk mengatasi masalah krisis regenerasi petani dengan melakukan kampanye sosial. Untuk, konteks sosial terdapat 2 poin yaitu kekuasaan dan akses. Kekuasaan yang dilakukan oleh petani muda melalui pengetahuan serta sikap. Akses melalui masing-masing media sosial yang dinaungi. Selanjutnya, pembentukan wacana dari petani muda ini mampu menggambarkan berbagai manfaat media sosial seperti, menambah pengetahuan yang mana petani muda maupun masyarakat dapat mengakses informasi pertanian masa kini, menjadi peluang bagi petani muda dalam mengembangkan pertaniannya serta dapat memperdayakan masyarakat sekitar. Terakhir, kesuksesan petani muda tidak hanya terletak pada profit atau uang melainkan manfaat bagi masyarakat luas.
Kata Kunci: Wacana, petani muda, media sosial, teknologi.
The phenomenon related to the young farmer regeneration crisis is a problem in Indonesia. Based on statistical data, farm workers are dominated by old farmers aged 45-55 years with 28.22%. Of course, this has an impact on the availability of food for the Indonesian population. Various factors cause young people not to want to become farmers, such as bad views from society, families that don't support them, and so on. However, it turns out that there are still young people who still survive as farmers and have decent life. Seen on four social media namely, the YouTube account for Capcapung, the Facebook for the Successful Young Indonesian Farmers Community (PMIS), the Instagram account @akupetani.id, and the Tiktok account @petanimilenial_indonesia. This study aims to analyze the objective conditions of young farmers who have a livelihood from farming in Indonesia, analyze Van Dijk's three dimensions, and analyze the critical discourse of young farmers. This study uses a qualitative method with a critical discourse analysis knife approach from Teun Van Dijk. Data collection techniques are primary and secondary. For the primary, documentation, and observation are carried out which are divided into video data, namely downloading videos, listening to videos, and capturing screens. Text data, namely, reading, observing, and taking screenshots. For secondary data in the form of journals, books, and others. The data analysis technique refers to Teun Van Dijk including, text, social cognition, and social context. By sharpening this research using the theoretical perspective of James S. Coleman. The results of the study show that the presence of social media can improve the agricultural conditions of young farmers, especially those who face various challenges due to limited capital, agricultural equipment, and agricultural land. Many farmers still live under welfare with an income of around Rp. 1,000,000. In addition, the results of text analysis on the four social media showed that there were differences covering the topics studied. If YouTube is oriented towards young farmers and technology, Facebook with information on young farmers and agriculture, Instagram with science and information on farmers or agriculture, and Tiktok is the life of young farmers. Meanwhile, in social cognition, researchers see that there is awareness among young farmers to overcome the problem of the farmer regeneration crisis by carrying out social campaigns. For social context, there are 2 points, namely power, and access. Power is exercised by young farmers through knowledge and attitudes. Access through each shaded social media. Furthermore, the formation of discourse from young farmers can describe the various benefits of social media such as increasing knowledge in which young farmers and the public can access current agricultural information, becoming an opportunity for young farmers to develop their agriculture, and can empower the surrounding community. Finally, the success of young farmers does not only lie in profit or money, but in benefits for the wider community.
Keywords: Discourse, young farmers, social media, technology.