“VISUALISASI KONFLIK PERTIKAIAN DUA DESA GOLAN MIRAH MELALAUI KARYA TARI “TEKAD SERANAH”

DALAM BENTUK TARI DRAMATIK

“VISUALIZATION OF THE CONFLICT OF THE TWO GOLAN MIRAH VILLAGES THROUGH THE DANCE WORK “TEKAD SERANAH”

IN THE FORM OF DRAMATIC DANCE

Desa Golan Mirah merupakan desa yang berada disebelah barat Kabupaten Ponorogo diwilayah Kecamatan Sukorejo. Desa Golan Mirah memiliki cerita yang hingga masih dipercayai masyarakat sekitar khususnya yang berada di Kabupaten Ponorogo. Cerita tersebut tentang pertikaian kedua Desa Golan Mirah yang memunculkan sumpah serapah yang diucapkan oleh Ki Ageng Honggolono selaku sesepuh desa Golan. Sumpah serapah yang telah diucapkan sangatlah kuat sehingga masyarakat Desa Golan Mirah enggan untuk melanggar.

Kajian teori koreografi bersumber dari berbagai ahli dijadikan pijakan oleh penulis menciptakan karyanya, meliputi metode konstruksi I oleh Jacqueline Smith, koreografi kelompok oleh Sumandiyo Hadi dan prinsip bentuk oleh Sal Murgiyanto. Hasil karya tari yang relevan juga dapat dijadikan sebagai sumber atau referensi mengenai konsep. Karya tari yang memberikan kontribusi adalah karya tari Biang Gomir dengan koreografer Afif Kurniawan dan Yuga Pangestika pada tahun 2012.

Koreografer menggunakan teori konstruksi I Jacqueliene Smith. Judul karya tari ini mengacu pada konsep kekuatan. Perkembangan gerak Jawa Timuran Panoragan menjadi komponen utama karya tari ini. Penataan panggung, tata rias dan busana, iringan, dan lighting merupakan unsur pendukung. Stimulasi awal, eksplorasi, improvisasi, evaluasi, seleksi, dan penyempurnaan langkah awal dalam penciptaan karya tari ini.

Karya tari Tekad Seranah tema yang diambil yaitu  kekuatan yang disajikan dalam koreografi kelompok. Karya tari ini terdiri dari lima bagian, introduksi, adegan satu, adegan dua, adegan tiga, ending. Karya ini menggunakan desain dramatik oleh jacquiline smith untuk meningkatkan penguatan suasana.

Dengan waktu selama 12 menit, koreografer menemukan gaya gerakan Jawa Timuran Ponoragan. Karya tari yang bersumber dari legenda Golan, maka koreografer berharap untuk bisa mengekspos dan memperkenalkan legenda tersebut kepada masyrakat khususnya di Kabupaten Ponorogo.

Golan Mirah Village is a village located to the west of Ponorogo Regency in the Sukorejo District. Golan Mirah Village has a story that is still believed by the local community, especially those in Ponorogo Regency. The story is about the conflict between the two Golan Mirah Villages which gave rise to swearing uttered by Ki Ageng Honggolono as the elder of the Golan village. The swearing oaths that have been spoken are so strong that the people of Golan Mirah Village are reluctant to break them.

The study of choreographic theory originating from various experts was used as a basis for the author to create his work, including the construction method I by Jacqueline Smith, group choreography by Sumandiyo Hadi and the principle of form by Sal Murgiyanto. Relevant dance works can also be used as sources or references regarding concepts. The dance work that contributed was the dance work Biang Gomir with choreographers Afif Kurniawan and Yuga Pangestika in 2012.

The choreographer used Jacqueliene Smith's theory of construction. The title of this dance work refers to the concept of power. The development of the Jawa Timuran Panoragan movement is the main component of this dance work. Stage setting, makeup and clothing, accompaniment, and lighting are supporting elements. Initial stimulation, exploration, improvisation, evaluation, selection, and refinement are the first steps in creating this dance work.

The theme of the Tekad Seranah dance work is the power presented in the group choreography. This dance work consists of five parts, introduction, scene one, scene two, scene three, ending. This piece uses a dramatic design by Jacquiline Smith to enhance the ambiance.

With 12 minutes of time, the choreographer found the East Java Ponoragan movement style. The dance work originates from the Golan legend, so the choreographer hopes to be able to expose and introduce this legend to the public, especially in Ponorogo Regency.