Mengubah Opini Masarakat Tentang Terowongan Niyama Dari Simbol Kekejaman Menjadi Bernilai Kearifan Tahun 1986-1998

Changing Public Opinion About the Niyama Tunnel From a Symbol of Cruelty to a Value of Wisdom in 1986-1998

        Pada masa penjajahan, daerah Tulungagung juga mengenal istilah kerja rodi atau romusha. Romusha merupakan sistem kerja paksa yang diterapkan oleh pemerintah Jepang masa penjajahan. Pekerja romusha di Tulungagung diperintahkan untuk membangun berbagai infrastruktur untuk menunjang kegiatan pemerintah kolonial. Salah satu bangunan yang menjadi ikon pada masa penjajahan adalah Terowongan Tulungagung Selatan atau yang dikenal dengan sebutan Terowongan Niyama. Apa yang kalian pikirkan jika mendengar kata “Penjajah” ? pasti di benak mayoritas Warga Negara Indonesia akan mengklaim tentang kekejaman, pertumpahan darah, kemiskinan, kesengsaraan, dan lain sebagainya. Hal ini tak lepas dari pengaruh historiografi yang bersifat Indonesiasentris. Penulisan sejarah dari sudut pandang orag Indonesia sudah sangat mendominasi di negara kita. Kisah-kisah yang ditulis kemudian dikembangkan menjadi ilmu sejarah dan memasuki institusi pendidikan. Oleh karena itu, doktrin tentang kekejaman penjajah sangat melekat pada memori dan mengakar dari generasi ke generasi. Hal tersebut bertujuan untuk meningkatkan Nasionalisme guna mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Namun, apakah tidak ada sisi positif sedikipun yang ditimbulkan oleh penjajahan. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis xi historiografi yang bersifat Indonesiasentris untuk mengupas masa kolonialisme dan menariknya ke arah yang lebih positif.

        Penelitian ini membahas mengenai : (1)Bagaimana pandangan masyarakat terhadap terowongan niyama sebelum tahun 1986?; (2)Bagaimana proses perubahan nama niyama hingga bernilai kearifan?; (3)Bagaimana pengaruh perubahan nama terhadap pandangan masyarakat setelah perubahan nama niyama menjadi terowongan suka makmur setelah tahun 1986? Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah yang terdiri dari empat tahapan, yakni proses heuristik yakni pengumpulan sumber yang didapatkan dari Perpustakaan Daerah Kabupaten Tulungagung, Badan Kearsipan Tulungagung, dan lain-lain. Tahap kedua yaitu kritik sumber yakni melakukan pengujian dan verifikasi sumber yang didapat. Tahap ketiga adalah interpretasi, yaitu menafsirkan data yang sudah diperoleh dan telah melewati proses verifikasi. Tahap keempat adalah historiografi, yaitu penulisan hasil penelitian sejarah secara kronologis dan analitis sesuai tema penelitian.

        Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa, perubahan nama pada terowongan Niyama dianggap sebagai penguat rasa Nasionalisme bukan semata-mata untuk melupakan sejarah secara utuh. Dengan demikian dampak yang dirasakan setelah pergantian nama menjadi Suka Makmur, secara pelan dan pasti masyarakat telah tersugesti positif. Kemudian diarahkan dan dibimbing oleh pemerintah bagaimana cara membuka atau mengolah lahan baru bekas rawa yang ada di Tulungagung. Keberhasilan pemerintah orde baru dalam mengubah pola pikir masyarakat dan terselenggaranya program bimbingan massal telah meningkatkan hasil produksi pertanian. Banyak lahan baru yang dibuka seperti rawa yang telah kering dan dialih fugsikan menjadi lahan pertanian dimana tahun sebelumnya (1985) hanya 769,50 Ha dengan jumlah produksi sebesar 4.142,2 Ton yang mengalami peningkatan di tahun 1986 menjadi 5.873,4 Ton.Meskipun setelah tahun 1986 luas panen mengalami penyempitan namun mampu menghasilkan produksi yang lebih banyak, hal itu menandakan keberhasilan program Bimas yang xii diselenggarakan di Kabupaten Tulungagung sehingga dapat panen tiga kali dalam setahun. 

        During the colonial period, the Tulungagung area also recognized the term labor or romusha. Romusha is a forced labor system implemented by the Japanese government during the colonial period. Romusha workers in Tulungagung were ordered to build various infrastructures to support the activities of the colonial government. One of the buildings that became an icon during the colonial period was the South Tulungagung Tunnel or known as the Niyama Tunnel. , and so forth. This can not be separated from the influence of historiography which is Indonesiacentric. Writing history from the point of view of Indonesians has dominated our country. The stories that were written were then developed into the science of history and entered educational institutions. Therefore, the doctrine of the cruelty of the invaders is deeply embedded in the memory and rooted from generation to generation. It aims to increase nationalism in order to maintain Indonesian independence. However, is there not the slightest positive side caused by colonialism. This paper aims to analyze Indonesia-centric historiography to explore the period of colonialism and draw it in a more positive direction.

        This study discusses: (1) What was the public's view of the Niyama tunnel before 1986?; (2) How is the process of changing the name of niyama so that it is of wisdom value?; (3) xiv How did the name change affect people's views after changing the name of Niyama to Tunnel Like Prosperity after 1986? This study uses a historical research method which consists of four stages, namely the heuristic process, namely the collection of sources obtained from the Regional Library of Tulungagung Regency, the Tulungagung Archives Agency, and others. The second stage is source criticism, namely testing and verifying the sources obtained. The third stage is interpretation, which is interpreting the data that has been obtained and has passed the verification process. The fourth stage is historiography, namely writing the results of historical research chronologically and analytically according to the research theme.

        The results of this study indicate that giving a more Indonesian-centric name to the niyama tunnel is considered to strengthen the sense of Nationalism not merely to forget history as a whole. good or bitter memories of the Niyama tunnel. People's memories that have been positively suggested are then directed and guided by the government on how to open or cultivate new ex-swamp lands in Tulungagung. The success of the New Order government in changing the mindset of the people of Tulungagung and the implementation of the mass guidance program has increased agricultural production. Many new lands have been opened, such as swamps that have dried up and were converted into agricultural land where the previous year (1985) was only 769.50 hectares with a total area of 769.50 hectares. production of 4,142.2 tons which increased in 1986 to 5,873.4 tons. Even though after 1986 the harvested area experienced a narrowing but was able to produce more production, it indicated the success of the Bimas program held in Tulungagung Regency so that it was able to harvest three times in a year.