Tinjauan Yuridis Tentang Tindak Pidana Pelecehan Seksual Non-Fisik di Indonesia (Studi Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Pelanggan Starbuck di Jakarta)

Juridical Review of The Criminal Act of Non-Physical Sexual Harassment in Indonesia (Case Study of Sexual Harassment of Starbuck Customers in Jakarta)

Pelecehan seksual mencakup berbagai macam perilaku, termasuk pelecehan gender, perilaku menggoda, penyuapan seksual, pemaksaan seksual, dan kekerasan seksual. Sebagai contoh kasus pelecehan seksual non-fisik yang terjadi di kedai kopi Starbucks di kawasan Sunter, Jakarta. Dimana terdapat dua pelaku sebagai barista yang melakukan pelecehan seksual non-fisik terhadap pelanggan dengan cara mengintip melalui CCTV. Sebut saja DD dan KH, kedua barista tersebut mengintip dada serta paha pelanggan melalui CCTV. Diketahui bahwa KH yang mengoperasikan CCTV dan DD yang merekam hasil pantauan serta mengupload nya ke sosial media. Akhirnya, DD dijatuhi pasal 27 ayat (1) UU ITE, sedangkan KH hanya berstatus sebagai saksi. Belum adanya aturan yang lebih spesifik mengatur pelecehan seksual non-fisik membuat pelaku tidak dapat dikenai pasal serta dijatuhi hukuman. Peneliti mencoba menganalisis pasal 281 KUHP dan juga pasal 27 ayat (1) UU ITE. Untuk menganalisis apakah pelaku pelecehan seksual non-fisik dapat dikenakan pasal 281 KUHP dan juga untuk menganalisis apakah perbuatan KH dapat dikenakan pasal 27 ayat (1) UU ITE seperti yang dijeratkan pada DD. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan historis dan pendekatan konseptual. Perbuatan KH tidak memenuhi unsur terbuka dikarenakan locus dari perbuatan tersebut terdapat pada ruang CCTV. Perbuatan KH tidak memenuhi salah satu dari 3 unsur pada Pasal 27 ayat (1) UU ITE. Perbuatan KH memenuhi unsur sebagai perbuatan pelecehan seksual, namun KH tidak dapat dikenai pasal 281 KUHP dan juga pasal 27 ayat (1) UU ITE karena terdapat beberapa unsur yang tidak terpenuhi.

Kata Kunci: Pelecehan Seksual Non-Fisik, Starbucks, CCTV.

Sexual harassment includes a wide variety of behaviors, including gender harassment, seductive behavior, sexual bribery, sexual coercion and sexual violence. For example, cases of non-physical sexual harassment that occurred at a Starbucks coffee shop in the Sunter area, Jakarta. Where there were two perpetrators who acted as baristas who sexually harassed customers by peeking through CCTV. Call it DD and KH, the two baristas peeked at the customer's chest and thighs via CCTV. It is known that KH, who operates CCTV and DD, records the monitoring results and uploads them to social media. Finally, DD was sentenced to Article 27 paragraph (1) of the ITE Law, while KH was only a witness. The absence of a more specific regulation regulating non-physical sexual harassment makes the perpetrator unable to be subject to articles and to be sentenced. The researcher tries to analyze article 281 of the Criminal Code and also Article 27 paragraph (1) of the ITE Law. To analyze whether perpetrators of non-physical sexual harassment could be subject to Article 281 of the Criminal Code and also to analyze whether KH's actions could be subject to Article 27 paragraph (1) of the ITE Law as enshrined in DD. This study uses a normative juridical research using a statutory approach, a historical approach and a conceptual approach. Results: The act of KH did not fulfill the open element because the locus of the act was in the CCTV room. KH's actions do not fulfill one of the 3 elements in Article 27 paragraph (1) of the ITE Law. KH's actions fulfill the elements as sexual harassment, but KH cannot be subject to article 281 of the Criminal Code and also Article 27 paragraph (1) of the ITE Law because there are several elements that are not fulfilled.

Keywords: Non-Physical Sexual Harassment, Starbucks, CCTV.