ANALISIS YURIDIS REGULASI AMBANG BATAS (PRESIDENTIAL THRESHOLD) SEBAGAI OPEN LEGAL POLICY DALAM HAK UNTUK DIPILIH DAN MEMILIH CALON PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

JURIDICAL ANALYSIS OF PRESIDENTIAL THRESHOLD REGULATION AS AN OPEN LEGAL POLICY IN THE RIGHT TO VOTE AND VOTE FOR PRESIDENTIAL AND VICE PRESIDENTIAL CANDIDATES

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai pengaturan ambang batas (presidential threshold) sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) dalam pasal 222 UU Pemilu serta menjawab problema yang terjadi di masyarakat tentang implikasi hukum akibat dari presidential threshold dalam pemilihan presiden dan wakil presiden. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatam statute approach dan conseptual approach. Perundang-Undangan sebagai bahan hukum primer dan buku, jurnal, desertasi sebagai bahan hukum sekunder. Penelitian ini mengangkat permasalahan mengenai pengaturan Presidential threshold sebagai Open legal policy, sedari UU Pemilu diundangkan sudah menimbulkan gejolak di masyarakat terutama terkait penerapan pasal 222 UU Pemilu yang mensyaratkan Pemilihan Presiden dan wakil presiden menggunakan ambang batas suara. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa salah satu putusan MK termasuk didalamnya Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 MK tidak berani menafsirkan presidential threshold beserta besaranya dan hitungannya secara matematis, hal ini menimbulkan kecurigaan atas pembuat undang-undangg dan elite politik dengan sikap politik transaksional. Dari segi konstitusionalitasnya pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 banyak pihak mengatakan bertentangan dengan norma pasal 6A ayat (1) dan pasal 22E UUD 1945 dan lebih khusus dihubungkan pada putusan MK No. 14/PUU-XI/2013. Perumusan norma pada pasal 222 dibentuk pembentuk undang-undang dalam hal ini DPR dan presiden didasarkan pada kewenangan Open legal Policy, yang diberikan oleh pasal 6A ayat (5) dan juga pasal 22E ayat (6) UUD NRI 1945. Tetapi kewenangan yang berlandaskan Open legal policy itu merupakan rumusan norma yang kenyataanya bertentangan dengan pasal 1 ayat (3), pasal 6A ayat (2), pasal 22E ayat (1), (2) dan (3) , pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945. pasal 6A ayat (2) UUD 1945 tidak mengatur mengenai ambang batas, ambang batas ini menyebabkan hilangnya hak partai politik untuk bisa mengusulkan pasangan calon calon presiden dan wakil presiden.

Kata Kunci: Presidential Threshold, Open Legal Policy, Hak Dipilih, Hak Memilih, Pemilu, Calon Presiden dan Wakil Presiden

This study aims to identify and explain the presidential threshold setting as an open legal policy in article 222 of the Election Law and to answer problems that occur in society regarding the legal implications of the presidential threshold in the election of president and vice president. This study uses a normative juridical method with a statute approach and a conceptual approach. Legislation as primary legal material and books, journals, dissertations as secondary legal material. This research raises the issue of setting the presidential threshold as an open legal policy, since the election law was promulgated, it has caused turmoil in society, especially regarding the application of article 222 of the election law which requires presidential and vice-presidential elections to use a voting threshold. The results of this study indicate that one of the decisions of the Constitutional Court including the Constitutional Court Decision No. 14/PUU-XI/2013 The Constitutional Court did not dare to interpret the presidential threshold and its magnitude and calculations mathematically, this raised suspicions about legislators and political elites with transactional political attitudes. In terms of constitutionality, article 222 of Law no. 7 of 2017, many parties say it is contrary to the norms of Article 6A paragraph (1) and Article 22E of the 1945 Constitution and more specifically related to the Constitutional Court decision No. 14/PUUXI/2013.

Keywords: Presidential Threshold, Open Legal Policy, Right to Vote, Election, Candidates for President and Vice President