Ludruk tobong adalah salah satu pertunjukan ludruk yang dipertunjukkan di panggung yang tertutup, penonton perlu membeli ticket untuk dapat menyaksikan. Ludruk tobongan merupakan kerja seni pertunjukan mandiri dengan penghasilan yang didapatkan dari uang ticket. Kelompok ludruk tobong di Jawa Timur sangat minim, di Ponorogo terdapat 3 kelompok Ludruk yang masih melaksanakan tobongan, yakni Ludruk Suromenggolo, Irama Muda, dan Wahyu Budaya. Ludruk tobong di Ponorogo menampilkan pertunjukan dengan mengurangi esensi dagelan dan meniadakan lakon pada struktur pertunjukannya. Sebagai acara utama dalam pertunjukan ludruk tobong ini adalah monosuko, lagu-lagu yang di pesan oleh penonton dan dinyanyikan oleh para tandhak ludruk.
Penelitian ini menggunakan struktur pertunjukan ludruk oleh Peacock, Konvensi ludruk oleh Lisbianto, Teater Kitchs dan tandhak oleh Supriyanto. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan sumber data manusia dan non manusia. Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah wawancara, observasi dan dokumentasi yang divalidasi dengan menggunakan triangulasi sumber dan teknik. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan cara reduksi data, interpretasi data, serta penarikan simpulan.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa ketiga ludruk tobong di Ponorogo melaksanakan tobongan dengan struktur pertunjukan tari remo, bedhayan, lawak, monosuko. Struktur pertunjukan tersebut didasari atas tuntutan pasar hiburan. Dengan demikian Ludruk Suromenggolo, Wahyu Budaya dan Irama Muda mengaku dengan sadar bahwa apa yang dipertunjukan adalah Ludruk Campursari. Ketiga ludruk ini tergolong sebagai Teater Kitchs yang menanggapi permintaan sebagai komoditi komersial untuk khalayak penontonnya. Kultur pedesaan dengan campursarian yang di cintai oleh masyarakat menjadi dasar utama peralihan struktur pertunjukan. Permasalahan mengkomersialkan kesenian ludruk tobong dengan baik adalah pengaruh besar yang berpotensi membawa dampak positif bagi keberlangsungan kesenian tradisi.
Ludruk tobong is one of the ludruk performances that is performed on a closed stage, the audience needs to buy a ticket to be able to watch. Ludruk tobongan is an independent performing arts work with income earned from ticket money. The ludruk tobong group in East Java is very minimal, in Ponorogo there are 3 Ludruk groups that still carry out tobongan, namely Ludruk Suromenggolo, Irama Muda, and Wahyu Budaya. Ludruk tobong in Ponorogo displays performances by reducing the essence of slapstick and negating the play on the structure of the show. As the main event in the ludruk tobong show is monosuko, songs that are ordered by the audience and sung by the tandhak ludruk.
This research uses the structure of the ludruk performance by Peacock, the Ludruk Convention by Lisbianto, the Theater of Kitchs and by Supriyanto. The research method used is qualitative with human and non-human data sources. Data collection techniques used in this study were interviews, observations and documentation that were validated using source and technique triangulation. Furthermore, the data obtained were analyzed by means of data reduction, data interpretation, and conclusion.
The results of this study indicate that the three ludruk tobong in Ponorogo carry out penance with the structure of remo dance performances, bedhayan, lawak, monosuko. The structure of the performance is based on the demands of the entertainment market. Thus Ludruk Suromenggolo, Wahyu Budaya and Irama Muda admitted consciously that what was shown was Ludruk Campursari. These three ludruk are classified as the Kitchs Theater which responds to demand as a commercial commodity for its audience. Rural culture with campursarian loved by the community is the main basis for the transition of the performance structure. The problem of commercializing ludruk tobong art well is a big influence that has the potential to have a positive impact on the continuity of traditional arts.