Rasionalitas Menjadi Petani Porang (Studi Pada Masyarakat Desa Bodag Kecamatan Kare Kabupaten Madiun)
The Rationality of Being a Porang Farmer (Study of the Bodag Village Community, Kare District, Madiun Regency)
Pertumbuhan petani porang di Kabupaten Madiun terus meningkat sejak tahun 2018. Hal ini dibuktikan dengan peningkatan luas pertanian porang dari 1.568 hektar menjadi 6.162 hektar pada tahun 2021 dengan lebih dari 9.200 petani. Akibatnya, terjadi persaingan antar petani porang dalam mendapatkan tengkulak, banyak tengkulak mengalami over supply sehingga harga pasar porang turun, dan ketersediaan pupuk porang di kios-kios terdekat menjadi langka karena kebutuhan pupuk semakin tinggi. Kondisi ini juga terjadi di Desa Bodag Kecamatan Kare Kabupaten Madiun. Meskipun terdapat permasalahan yang demikian, pada tahun 2021 jumlah petani porang di Desa Bodag terus bertambah mencapai 480 petani. Bahkan, popularitas porang yang tinggi mampu menggeser cokelat yang sebelumnya menjadi unggulan sektor pertanian di Desa Bodag. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui rasionalitas masyarakat Desa Bodag menjadi petani porang dengan memahami latar belakang, sumber daya, dan upaya memaksimalkan keuntungannya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersumber pada pengumpulan data primer yaitu observasi, wawancara, dan dokumentasi serta data sekunder yaitu penelusuran jurnal, artikel, dan buku tema terkait disertai perspektif teori James S. Coleman untuk menganalisis data. Hasil penelitian menunjukkan terdapat faktor ekonomi, sosial, dan budaya yang melatarbelakangi masyarakat Desa Bodag menjadi petani porang. Faktor ekonomi meliputi desakan ekonomi keluarga, tersedianya modal produksi baik biaya pribadi atau pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) BNI dan BRI dengan bunga rendah, sulitnya mencari pekerjaan, kerugian bertani tanaman sebelumnya, dan keinginan menambah keuntungan di sela waktu luang. Faktor sosial meliputi modal sosial relasi. Faktor budaya meliputi kebiasaan meregenerasi petani sebagai pekerjaan keluarga. Adapun, perbedaan kepemilikan sumber daya diantara petani porang lahan sempit (< 500 m²), lahan sedang (500 m² < x ≤ 5.400 m²), dan lahan luas (5.400 m² < x ≤ 1,05 ha) yang meliputi (1) modal ekonomi yaitu uang pribadi atau pinjaman, tanah/lahan pribadi, perhutani, atau sewa, ada atau tidak adanya transportasi, bibit porang dari hasil membeli, mencari di hutan, mendapatkan dengan harga murah atau gratis. (2) modal manusia yaitu ada atau tidak adanya tenaga kerja buruh untuk diperkerjakan, dan (3) modal sosial yaitu budidaya porang berdasarkan pengalaman atau pendidikan, ada atau tidak adanya relasi yang terbangun antara sesama petani porang lokal/luar daerah serta ada atau tidak adanya relasi antara petani dengan tengkulak kecil-lokal/besar-lokal/besar luar daerah. Perbedaan lain juga ada pada upaya pemaksimalan keuntungan yaitu kemampuan berafiliasi dalam suatu komunitas sesama petani porang baik tingkat desa atau luar desa, cara produksi dari masa penanaman, penyiangan, pemupukan sampai panen, serta kemampuan atau kemauan melakukan literasi media sosial untuk meningkatkan rantai penjualan hasil porang.
Kata Kunci: Desa Bodag, Petani, Rasionalitas, Tanaman Porang.
The growth of porang farmers in Madiun Regency has continued to increase since 2018. This is evidenced by the increase in the area of porang farming from 1,568 hectares to 6,162 hectares in 2021 with more than 9,200 farmers. As a result, there is competition between porang farmers in getting middlemen, many middlemen experience oversupply so that the porang market price drops, and the availability of porang fertilizer at nearby kiosks is becoming scarce because the demand for fertilizer is getting higher. This condition also occurs in Bodag Village, Kare District, Madiun Regency. Despite these problems, in 2021 the number of porang farmers in Bodag Village continues to grow to reach 480 farmers. In fact, the high popularity of porang is able to shift chocolate which was previously the flagship of the agricultural sector in Bodag Village. The purpose of this study was to determine the rationality of the people of Bodag Village to become porang farmers by understanding their background, resources, and efforts to maximize profits. This study uses a qualitative approach that is sourced from primary data collection, namely observations, interviews, and documentation and secondary data, namely searches of journals, articles, and books on related themes accompanied by the theoretical perspective of James S. Coleman to analyze the data. The results showed that there were economic, social, and cultural factors behind the people of Bodag Village to become porang farmers. Economic factors include the family's economic pressure, the availability of production capital either for personal costs or BNI and BRI People's Business Credit (KUR) loans with low interest, difficulty in finding work, losses from farming previously, and the desire to increase profits in spare time. Social factors include relational social capital. Cultural factors include the habit of regenerating farmers as family work. Meanwhile, the differences in resource ownership between small land porang farmers (< 500 m²), medium land (500 m² < x ≤ 5,400 m²), and large land (5,400 m² < x ≤ 1.05 ha) which include (1) economic capital namely personal money or loans, private land/land, Perhutani, or rent, the presence or absence of transportation, porang seeds from buying, searching in the forest, getting cheap or free. (2) human capital, namely the presence or absence of a labor force to be employed, and (3) social capital, namely the cultivation of porang based on experience or education, the presence or absence of relationships between local/outside porang farmers and the presence or absence of relations between farmers and small-local/big-local/big middlemen outside the region. Other differences also exist in profit maximization efforts, namely the ability to be affiliation within a community of fellow porang farmers either at the village level or outside the village, production methods from planting, weeding, fertilizing to harvesting, as well as the ability or willingness to carry out social media literacy to increase the sales chain of porang products.
Keywords: Bodag Village, Farmers, Rationality, Porang Plants.