Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuasaan
dan identitas dalam interaksi antara guru dan murid Sekolah Menengah Pertama
(SMP) Islam di kelas dengan gender yang sama. Pandangan mereka terhadap
kekuasaan dan identitas di interaksi kelas juga dibahas pada penelitian ini.
Oleh karena itu, observasi dan wawancara dilakukan untuk mengumpulkan data
penelitian. Subjek penelitian ini adalah dua guru Bahasa Inggris SMP Islam
dengan gender yang berbeda dan para siswa mereka yang duduk di kelas dua.
Interaksi dari guru laki – laki dan perempuan dan siswa – siswi mereka
diobservasi untuk mengetahui kekuasaan dan identitas di dalam kelas. Kemudian,
mereka akan diwawancarai untuk mengetahui pandangan mereka soal kekuasaan dan
identitas dalam interaksi kelas. Selanjutnya, data akan diklasifikasikan ke
dalam beberapa pola interaksi dan dianalisis menggunakan teori Critical Classroom Discourse Analysis (CCDA).
Hasil
observasi menunjukkan guru adalah dominan dan siswa adalah resisten di dalam
kelas. Guru laki - laki memiliki kekuasaan legitimasi dan keahlian di dalam
kelas. Dia juga menciptakan empat pola interaksi di dalam kelas perempuan,
yaitu mengarahkan, menanyai, menjelaskan, dan bergurau. Sedangkan di dalam
kelas laki – laki, pola bergurau tidak ditemukan. Sementara itu, guru perempuan
memiliki kekuasaan legitimasi, keahlian, dan koersif di dalam kelas. Dia
menciptakan empat pola interaksi di dalam kelas laki – laki, meliputi
mengarahkan, menanyai, menjelaskan, dan memberikan saran.
Namun, pola memberikan saran tidak ditemukan di kelas perempuan. Sehingga, bisa
dilihat bahwa kekuasaan guru menciptakan pola lebih banyak di kelas dengan
siswa bergender berbeda dengan guru. Selain itu, observasi juga membuktikan
bahwa siswa juga dapat mendominasi kelas di kondisi tertentu, dengan cara
mengarahkan dan mengabaikan guru. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan di
dalam kelas bersikap dinamis.
Hasil
interview guru dan murid juga mengonfirmasi minat terhadap pengajaran dengan
guru dan murid yang memiliki gender berbeda. Para guru merasa lebih nyaman
untuk mengajar di kelas dengan siswa yang bergender berbeda dengan mereka.
Energi mereka bisa cocok dengan para siswa tersebut yang membuat interaksi
kelas bisa berjalan baik. Di sisi lain, para murid juga mengonfirmasi hal yang
sama. Terutama siswa perempuan, mereka cenderung suka untuk diajar guru laki –
laki. Sedangkan siswa laki – laki, meskipun mereka lebih memilih untuk diajar
oleh guru perempuan, tapi mereka tidak masalah jika harus diajar oleh guru laki
– laki. Singkatnya, siswa laki – laki lebih fleksibel terhadap gender guru.