Strategi Pembangunan Ekonomi Jawa Tengah melalui Sektor Unggulan, Aglomerasi Industri, dan Generalized Method of Moments (GMM).
Central Java Economic Development Strategy through Leading Sectors, Industrial Agglomeration, and Generalized Method of Moments (GMM).
Perbedaan karakteristik wilayah dalam satu pulau menjadi hal yang sewajarnya terjadi, utamanya di negara kepulauan terbesar seperti Indonesia, Jawa Tengah yang berada di Pulau Jawa juga termasuk ke dalamnya. Perbedaan karakteristik wilayah di Provinsi Jawa Tengah membuat tingkat pembangunan ekonomi yang tidak seragam, ketidakseragaman ini menunjukan adanya perbedaan kandungan sumber daya alam dan kondisi geografis, hal itu mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antar daerah di Provinsi Jawa Tengah. Dimana ketidakseimbangan atau ketimpangan ekonomi yang terjadi melatarbelakangi terjadinya ketimpangan pembangunan, ketimpangan pada dasarnya tidak dapat dihilangkan dan hanya dapat dikurangi hingga pada batas yang diterima suatu sistem sosial. Untuk mengurangi ketimpangan antar wilayah perlu strategi dan kebijakan pembangunan ekonomi yang tepat berdasarkan karakteristik wilayah.
Kondisi pertumbuhan ekonomi Provinsi Jawa Tengah yang terendah pada tahun 2021 di Pulau Jawa, disertai kontribusi terhadap PDB nasional hanya 8,38% dimana tergolong rendah, perlu diketahui Pulau Jawa sendiri berkontribusi terhadap PDB nasional 57,89% pada tahun 2021. Selain itu, kondisi pembangunan ekonomi yang timpang dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah masih cukup lebar, baik dilihat dari pendapatan per kapita, laju pertumbuhan, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, rasio Gini, indeks pembangunan manusia, rata-rata lama sekolah, sebaran penduduk, dan infrastruktur.
Untuk mengurangi ketimpangan pembangunan dan ekonomi yang ada di dalam wilayah administrasi Provinsi Jawa Tengah dapat dilakukan dengan optimalisasi sektor unggulan dan potensi aglomerasi industri, dimana sektor unggulan yang menjadi tulang punggung perekonomian suatu wilayah sudah sewajarnya dioptimalkan perannya, sedangkan aglomerasi industri diperlukan sebagai upaya agar terjadinya eksternalitas ekonomi berupa perbaikan infrastruktur, perekonomian, perluasan pasar, serta modal dan tabungan. Sehingga perlu di rencanakan strategi dan kebijakan pembangunan yang tepat berdasar karakteristik wilayah.
Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui (1) sektor unggulan (2) tingkat aglomerasi industri (3) pengaruh sektor unggulan dan aglomerasi industri terhadap pembangunan ekonomi di Jawa Tengah, serta (4) strategi pembangunan ekonomi di Jawa Tengah. Metode penelitian yang digunakan ialah metode deskriptif kuantitatif dengan Location Quotient; Shift Share Analysis; Model Rasio Pertumbuhan; Analisis Overlay; dan Indeks Balassa, serta metode inferensial dengan regresi data panel dinamis Generalized Method of Moments. Dimana data yang digunakan ialah data PDRB atas dasar harga konstan menurut lapangan usaha dan tenaga kerja sektoral yang bersumberkan dari data badan pusat statistik Provinsi Jawa Tengah.
Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa: 1) Dari 35 kabupaten dan kota yang ada, terdapat 2 kabupaten yang tidak memenuhi 4 kategori sehingga tidak memiliki sektor unggulan, ke 2 kabupaten itu ialah Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Kudus. Sedangkan pada 27 kabupaten dan 6 kota memiliki sektor unggulan berdasarkan 4 kategori sektor basis, sektor dengan pertumbuhan cepat, sektor dengan pertumbuhan menonjol, dan sektor potensial di Provinsi Jawa Tengah. 2) Daerah dengan tingkat konsentrasi spasial atau aglomerasi industri sedang yang paling dominan ialah Kabupaten Jepara, sedangkan wilayah dengan tingkat konsentrasi spasial atau aglomerasi industri lemah yang paling dominan terjadi di 16 kabupaten/kota dan terdapat 18 kabupaten/kota yang tergolong tidak terjadi aglomerasi industri. 3) Analisis menggunakan regresi data panel dinamis Generalized Method of Moments menunjukan bahwa variabel pembangunan ekonomi periode sebelumnya dan sektor unggulan signifikan mempengaruhi pembangunan ekonomi pada jangka pendek dan bersifat tidak elastis/inelastis, sedangkan aglomerasi industri tidak signifikan mempengaruhi pembangunan ekonomi/realpdrbk. Dalam jangka panjang sektor unggulan dan aglomerasi industri tidak signifikan mempengaruhi pembangunan ekonomi dimana konvergensi pembangunan ekonomi sebesar 4,87%, artinya tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi semakin berkurang 4,87% per tahunnya. 4) Strategi kebijakan didasarkan karakteristik wilayah dengan 4 kuadran dimana dibagi atas karakteristik pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan yang dikategorikan tinggi, pendapatan per kapita tinggi dan laju pertumbuhan rendah, pendapatan per kapita dan laju pertumbuhan yang dikategorikan rendah dan pendapatan per kapita rendah dan laju pertumbuhan tinggi. Lalu strategi wilayah dalam kuadran 3 dan 4 lebih cocok dengan strategi pembangunan tidak seimbang, untuk wilayah pada kuadran 1 dan 2 dapat menerapkan strategi pembangunan seimbang ataupun strategi pembangunan tidak seimbang, dan strategi berikutnya pengembangan potensi aglomerasi industri pada 16 wilayah yang berpotensi dikembangkan diantaranya Kota Pekalongan, Kabupaten Boyolali, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kudus, Kabupaten Banjarnegara, Kabupaten Cilacap, Kabupaten Karanganyar, Kota Salatiga, Kabupaten Pati, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Semarang, Kabupaten Purbalingga, Kota Surakarta, Kabupaten Magelang, dan Kota Tegal.
Implikasi daripada penelitian ini, dimana hasil penelitian dapat digunakan sebagai masukan dan bahan pertimbangan pemerintah daerah terkait strategi dan kebijakan pembangunan daerahnya, serta penelitian ini semakin memperkuat teori yang digagas oleh Harvey s. Perloff dan Douglas C. North yang mana pengembangan ekonomi ditentukan oleh keuntungan kompetitif dan potensi sumber daya yang dimiliki serta menunjukkan apa yang dikatakan dalam teori transformasi sektoral benar adanya dan memperkuat hipotesis Williamson dimana mengatakan aglomerasi mempengaruhi pembangunan pada tahap awal dan di saat perekonomian pada tahap tertentu tidak berpengaruh dan bahkan berbahaya.
Differences in regional characteristics within one island naturally occur, especially in the largest archipelagic countries such as Indonesia, Central Java which is on the island of Java is also included in it. Differences in regional characteristics in Central Java Province make the level of economic development non-uniform, this discrepancy indicates differences in the content of natural resources and geographical conditions, this affects unequal economic growth between regions in Central Java Province. Where economic imbalances or imbalances occur as the background to development inequality, inequality basically cannot be eliminated and can only be reduced to a limit acceptable to a social system. To reduce disparities between regions, appropriate economic development strategies and policies are needed based on regional characteristics.
The condition of economic growth in Central Java Province is the lowest in 2021 on the island of Java, accompanied by a contribution to the national GDP of only 8.38% which is relatively low. It is necessary to know that Java Island itself contributes to the national GDP of 57.89% in 2021. Unequal economic development within the administrative area of Central Java Province is still quite wide, both in terms of income per capita, growth rate, poverty rate, unemployment rate, Gini ratio, human development index, average length of schooling, population distribution, and infrastructure.
To reduce development and economic inequality that exists within the administrative area of Central Java Province, this can be done by optimizing the leading sectors and the potential for industrial agglomeration, where the leading sectors which are the backbone of the economy of a region should naturally optimize their role, while industrial agglomeration is needed as an effort to prevent externalities from occurring. economy in the form of infrastructure improvement, economy, market expansion, as well as capital and savings. So it is necessary to plan appropriate development strategies and policies based on regional characteristics.
This study aims to determine (1) leading sector (2) level of industrial agglomeration (3) the influence of leading sector and industrial agglomeration on economic development in Central Java, and (4) economic development strategy in Central Java. The research method used is a quantitative descriptive method with a Location Quotient; Shift Share Analysis; Growth Ratio Model; Overlays Analysis; and the Balassa Index, as well as inferential methods with dynamic panel data regression Generalized Method of Moments. Where the data used is GRDP data on the basis of constant prices according to business sector and sectoral labor sourced from data from the central statistical agency of Central Java Province.
The results of this study show that: 1) Of the 35 existing regencies and cities, there are 2 regencies that do not meet the 4 categories so they do not have a leading sector, the 2 regencies are Cilacap Regency and Kudus Regency. Meanwhile, 27 regencies and 6 cities have leading sectors based on 4 basic sector categories, sectors with fast growth, sectors with prominent growth, and potential sectors in Central Java Province. 2) The area with the most dominant level of spatial concentration or moderate industrial agglomeration is Jepara Regency, while the area with the most dominant level of spatial concentration or weak industrial agglomeration occurs in 16 regencies/cities and there are 18 regencies/cities that are classified as not having industrial agglomeration. 3) Analysis using dynamic panel data regression Generalized Method of Moments shows that the previous period's economic development variables and leading sectors significantly affect economic development in the short term and are not elastic/inelastic, while industrial agglomeration does not significantly affect economic development/realpdrbk. In the long term, leading sectors and industrial agglomeration do not significantly affect economic development where the convergence of economic development is 4.87%, meaning that the level of inequality in economic development is decreasing by 4.87% per year. 4) The policy strategy is based on regional characteristics with 4 quadrants which are divided into characteristics of high per capita income and growth rate, high per capita income and low growth rate, low per capita income and growth rate and low per capita income and growth rate tall. Then regional strategies in quadrants 3 and 4 are more suitable for unbalanced development strategies, for regions in quadrants 1 and 2 can apply a balanced development strategy or an unbalanced development strategy, and the next strategy is developing industrial agglomeration potential in 16 areas that have the potential to be developed including Pekalongan City , Boyolali Regency, Sukoharjo Regency, Banyumas Regency, Kudus Regency, Banjarnegara Regency, Cilacap Regency, Karanganyar Regency, Salatiga City, Pati Regency, Wonogiri Regency, Semarang Regency, Purbalingga Regency, Surakarta City, Magelang Regency and Tegal City.
The implications of this research, where the results of the research can be used as input and material for consideration by local governments regarding their regional development strategies and policies, and this research further strengthens the theory initiated by Harvey s. Perloff and Douglas C. North where economic development is determined by competitive advantage and the potential of the resources they have and shows what is said in the sectoral transformation theory is true and strengthens the Williamson hypothesis which says agglomeration affects development at an early stage and when the economy is at a certain stage useless and even dangerous.