DIGLOSIA DAN RANAH PEMAKAIAN BAHASA TETUN DAN METO PADA MASYARAKAT MULTIETNIK DI KECAMATAN BIBOKI ANLEU KABUPATEN TIMOR TENGAH UTARA
Diglossia and Language Usage Domains of Tetun and Meto in a Multietnic Community in Biboki Anleu Sub-district, North Central Timor Regency
Mauk, Vincentius. 2023. Diglosia dan Ranah Pemakaian Bahasa Tetun dan Meto pada Masyarakat Multietnik di Kecamatan Biboki Anleu, Kabupaten Timor Tengah Utara. Disertasi, Program Studi (S3) Pendidikan Bahasa dan Sastra, Program Pascasarjana Universitas Negeri Surabaya. Pembimbing (1) Prof. Dr. Kisyani, M.Hum., (2) Dr. Mintowati, M.Pd.
Kata kunci: diglosia, bahasa Tetun, bahasa Meto, dan masyarkat multietnik
Diglosia bahasa Tetun dan Meto menarik untuk diteliti karena mengungkapkan perbedaan penggunaan ragam bahasa sesuai fungsinya dalam berbagai konteks, baik formal maupun informal, dan berdampak pada kehidupan sosial dan ekonomi serta pelestarian bahasa. Tujuan penelitian ini adalah untuk menemukan fenomena diglosia (FD) bahasa Tetun dan Meto sesuai fungsinya serta menemukan ranah pemakaian bahasa (RpB)Tetun dan Meto pada masyarakat multietnik di Kecamatan Biboki Anleu Kabupaten Timor Tengah Utara.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan sosiolinguistik. Teknik pengumpulan data menggunakan metode observasi, dokumentasi, rekam, dan wawancara. Subjek dalam penelitian ini adalah fenomena diglosia (FD) bahasa Tetun dan Meto sesuai fungsi sosialnya serta ranah pemakaian bahasa Tetun dan Meto yang dipakai masyarakat multietnik di Kecamatan Biboki Anleu Kabupaten Timor Tengah Utara. Informan yang dipilih secara acak diperoleh dari empat puluh dua responden dari sembilan desa di Kecamatan Biboki Anleu, mulai dari desa Oemanu hingga Motadik. Responden tersebut terdiri atas empat orang berusia remaja, tiga orang berusia dewasa, dan tiga puluh tujuh kategori orang tua serta kriteria status sosial camat berjumlah satu orang, kepala desa berjumlah satu orang, dan sesepuh tua adat berjumlah enam orang dianggap sebagai orang yang memiliki status sosial lebih dihormati dalam masyarakat serta tiga puluh enam orang memiliki status yang memiliki status sosial biasa dalam masyarakat Biboki Anleu. Analisis data melalui langkah melakukan transkrip data bukan pada data tulis saja, tetapi data yang berkaitan dengan data percakapan lisan juga dialihkan ke data tulis. Teknik analisis data yang digunakan adalah model Miles andHuberman, yang terdiri atas tiga tahapan dasar yakni reduction, display, and verification.
Temuan dalam penelitian ini yaitu: (1) adanya fenomena diglosia (FD) bahasa Tetun dan Meto pada masyarakat multietnik BibokiAnleu. Perbedaan penggunaan ragam bahasa tinggi (T) dan bahasa rendah (R) pada bahasa Meto dan bahasa Tetun. Kedua bahasa tersebut masing-masing memiliki ragam tinggi (RT) dan ragam rendah (RR). Ragam tinggi(RT) bahasa Meto hanya digunakan dalam situasi formal atau resmi, seperti upacara adat atau acara penting lainnya. Ragam tinggi (RT) atau ragam halus bahasa Tetun dipakai untuk menghormati orang yang lebih berumur (orang tua, kakak atau orang yang memiliki jabatan tertentu dalam suatu instansi tetapi dalam situasi santai. Sedangkan, ragam rendah (RR) bahasa Meto dan Tetun digunakan dalam percakapan setiap hari pada situasi santai atau tidak formal oleh masyarakat multietnik Biboki Anleu. Bahasa Meto dalam bahasa adat lisan belum memiliki sistem tulisan atau keaksaraan, dan bahasa Tetun serta bahasa Meto hanya ditulis menggunakan abjad Latin berupa huruf, angka, dan tanda baca.
Temuan (2) berkaitan dengan ranah pemakaian bahasa secara keseluruhan adalah digunakannya bahasa-bahasa oleh masyarakat Biboki Anleu sesuai ranah dan situasi ketika berlangsung peristiwa komunikasi. Ranah keluarga, ranah adat istiadat, ranah jual beli, ranah gotong-royong dan ranah pertemanan digunakannya bahasa Tetun dan Meto., sedangkan ranah sekolah dan ranah pemerintahan digunakan bahasa Indonesia.
Selain kedua temuan di atas sesuai dengan fokus dan tujuan penelitian, peneliti menemukan juga beberapa proposisi yang berkaitan dengan ranah pemakaian bahasa yaitu: Pertama, masyarakat multietnik Biboki Anleu memiliki keberagaman bahasa yaitu bahasa Tetun dan Meo yang merupakan bahasa daerah yang sudah dikenal turun-temurun. Dengan demikian, adanya warisan berbagai budaya di antara suku-suku yang berada di daerah Biboki Anleu memberikan kontribusi yang berharga terhadap kekayaan dan keberagaman budaya, menciptakan suatu lingkungan yang kaya akan tradisi, bahasa, dan nilai-nilai yang beraneka ragam. Kedua, digunakannya bahasa-bahasa oleh masyarakat Biboki Anleu terkait dengan ranah dan situasi ketika berlangsung peristiwa komunikasi. Ranah keluarga, adat istiadat, jual beli, gotong-royong dan pertemanan menggunakan bahasa Tetun dan Meto, sedangkan pada ranah sekolah dan ranah pemerintahan diguunakan bahasa Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pemahaman masyarakat multietnik Biboki Anleu tentang norma dan kaidah ketika bahasa digunakan dalam berbagai situasi sosial sangat tercermin dalam keragaman budaya masyarakat setempat.
Ketiga, secara keseluruhan, pemilihan bahasa pada masyarakat multietnik Biboki Anleu sangat dipengaruhi oleh kegiatan interaksi sosial walaupun bahasa Tetun dan Meto tetap dijaga. Pengaruh interaksi individu dengan individu yang mahir dalam penggunaan bahasa Indonesia membuat penggunaan bahasa Indonesia meningkat, terutama pada kalangan generasi muda di bangku sekolah. Keberagaman bahasa tetap menjadi bagian penting dalam berinteraksi sesama anggota masyarakat setiap hari.
ABSTRACT
Mauk, Vincentius. 2023. Diglossia and Language Usage Domains of Tetun and Meto in a Multietnic Community in Biboki Anleu Sub-district, North Central Timor Regency. Dissertation, Doctoral Program in Language and Literature Education, Graduate Program, Universitas Negeri Surabaya. Supervisor (1) Prof. Dr. Kisyani, M.Hum., (2) Dr. Mintowati, M.Pd.
Keywords: diglossia, Tetun language, Meto language, multietnic community
Diglossia in Tetun and Meto languages is intriguing to investigate as it reveals the differences in language use varieties according to their functions in various contexts, both formal and informal, impacting social, economic, and language preservation aspects. The objective of this research is to explore the phenomenon of diglossia (PD) in Tetun and Meto languages according to their functions and to identify the language usage domains (LUD) of Tetun and Meto in a multietnic community in Biboki Anleu Sub-district, North Central Timor Regency.
This study employs a qualitative descriptive method with a sociolinguistic approach. Data collection techniques include observation, documentation, recording, and interviews. The subjects are the diglossia phenomenon (PD) in Tetun and Meto languages according to their social functions and the language usage domains of Tetun and Meto used by the multietnic community in Biboki Anleu Sub-district, North Central Timor Regency. Forty-two respondents from nine villages in Biboki Anleu, ranging from Oemanu to Motadik, were randomly selected. The respondents include four teenagers, three adults, and thirty-seven categories of parents. Additionally, individuals with higher social status, such as the sub-district head, village head, and elder adat leader (customary leader), totaling eight individuals, were considered as those with more respected social status, while thirty-six individuals had a normal social status in the Biboki Anleu community. Data analysis involves the transcription of not only written data but also oral conversation data, and the Miles and Huberman model is used, consisting of three basic stages: reduction, display, and verification.
The findings of this research are as follows: (1) the presence of diglossia phenomenon (PD) in Tetun and Meto languages in the multietnic community of Biboki Anleu. The differences in the use of high variety language (T) and low variety language (R) in Meto and Tetun languages. Each language has its high variety (HT) and low variety (LR). The high variety (HT) of Meto language is only used in formal or ceremonial situations, such as traditional ceremonies or other significant events. The high variety (HT) or polite variety of Tetun language is used to show respect to older individuals (parents, siblings, or individuals with specific positions in an institution) in casual situations. In contrast, the low variety (LR) of Meto and Tetun languages is used in everyday conversations in casual or informal situations by the multietnic community in Biboki Anleu. Meto language in oral traditional language does not have a writing system or literacy, while Tetun and Meto languages are written using the Latin alphabet consisting of letters, numbers, and punctuation marks.
Findings (2) related to the overall language usage domains reveal that the Biboki Anleu community uses Tetun and Meto languages according to the domain and situation during communication events. The domains of family, customary ceremonies, buying and selling, mutual cooperation, and friendship use Tetun and Meto languages, while the domains of school and government use the Indonesian language.
In addition to the two findings above, in line with the focus and objectives of the research, the researcher also identified several propositions related to language usage domains: First, the multietnic community in Biboki Anleu has language diversity, namely Tetun and Meo languages, which are local languages passed down through generations. Thus, the presence of various cultures among the tribes in the Biboki Anleu area contributes valuable richness to cultural diversity, creating an environment rich in traditions, languages, and diverse values. Second, the use of languages by the Biboki Anleu community is related to the domain and situation during communication events. The domains of family, customary ceremonies, buying and selling, mutual cooperation, and friendship use Tetun and Meto languages, while the domains of school and government use the Indonesian language. This indicates that the Biboki Anleu multietnic community's understanding of norms and rules when using language in various social situations is reflected in the local cultural diversity.
Third, overall, the language choice in the Biboki Anleu multietnic community is strongly influenced by social interaction activities, although Tetun and Meto languages are still preserved. The influence of individual interactions with those proficient in using the Indonesian language increases the use of the Indonesian language, especially among the younger generation in schools. Language diversity remains a crucial part of daily interactions among community members.