Kabupaten Nganjuk merupakan salah satu sentra penghasil bawang merah di Jawa Timur. Bahkan menjadi urutan ke 5 dari 10 besar daerah penghasil bawang merah di Indonesia. Terdapat 5 Kecamatan sebagai penghasil bawang merah terbesar yaitu Rejoso, Bagor, Wilangan, Sukomoro, Gondang. Kecamatan Rejoso menjadi daerah penghasil bawang merah berbesar di Nganjuk. Mata pencaharian penduduknya mayoritas petani bawang merah, tetapi ada juga yang menjadi pedagang, pengepul, tengkulak atau distributor, buruh di persawahan bawang merah, penjual pupuk, supir truk untuk pengiriman bawang merah dan lain sebagainya. Pemasaran bawang merah asal Nganjuk telah mencapai luar pulau Jawa. Perluasan jangkauan perdagangan ini menimbulkan adanya pergeseran pola perdagangan yang ada di Nganjuk, karena adanya persaingan perdagangan bawang merah asal Brebes.
Rumusan masalah penelitian ini adalah 1) Bagaimanakah sistem perdagangan bawang merah yang ada di Nganjuk, 2) Bagaimana perkembangan sistem perdagangan bawang merah di kabupaten Nganjuk sejak tahun 1995-2012, 3) Bagaimanakah pengaruh perdagangan bawang merah di kabupaten Nganjuk terhadap peningkatan kehidupan masyarakat di kecamatan Rejoso Kabupaten Nganjuk. Penelitian dilakukan menggunakan 4 tahapan yaitu heuristik, kritik sumber, interpretasi dan historiografi.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa sistem perdagangan bawang merah di Nganjuk dimulai pada saat seminggu sebelum panen, dimana penebas akan melakukan transaksi penawaran kepada petani. Setelah adanya kesepakatan saat panen bawang merah langsung dibawa penebas ke pengepul. Pengepul melakukan proses pasca panen agar bawang merah siap untuk diperjual belikan sebelum dikirim ke Tengkulak atau distributor ke seluruh Jawa, Sumatra dan Kalimantan.
Tahun 1995 perdagangan bawang merah di Nganjuk masih menggunakan sistem perdagangan sederhana menjadi penambahnya jaringan perdagangan yang lebih terstruktur antara petani, penebas, pengepul, tengkulak dan pedagang tidak lagi hanya petani dan tengkulak. Pada tahun 1999 juga perpindahan pusat perdagangan yang awalnya terpusat di pasar Sukomoro ke desa-desa penghasil tempat produksi bawang merah. Yang terakhir adalah pada tahun 2012 adanya sistem perdagangan baru yang memanfaatkan media online untuk transaksi penjualan bawang merah.
Perubahan pola ini pula memberikan beberapa dampak yang ada di kecamatan Rejoso, sebagai kecamatan penghasil bawang merah terbesar di Nganjuk bagi kehidupan perekonomian yaitu penambahan mata pencaharian, nilai investasi Rejoso yang meningkat dan peningkatan kesejahteraan masyarakat serta dikehidupan sosial masyarakat berupa eratnya hubungan timbal balik antar struktur masyarakat yang ada di perdagangan bawang merah dan munculnya perkumpulan-perkumpulan masyarakat.
Kata Kunci : Bawang merah, Perdagangan, Nganjuk
Nganjuk Regency is one of the red onion producing centers in East Java. In fact, it is the 5th in the top 10 red onion producing regions in Indonesia. There are 5 sub-districts with the largest shallot producers, namely Rejoso, Bagor, Wilangan, Sukomoro, Gondang. In Rejoso sub-district as a large red onion producing area in Nganjuk, the majority of the livelihoods of the residents are onion farmers. In addition, such as being, traders, collectors, middlemen or distributors, laborers in red onion fields, fertilizer sellers, truck drivers for shipping red onion and so on. The marketing of red onion from Nganjuk has reached the outer islands of Java, this is done because of the competition of red onion trade in Java which is predominantly dominated by red onion from Brebes. This expansion in trade reach has led to a shift in the pattern of trade in Nganjuk.
Problem formulation of this research is 1) What is the onion trading system in Nganjuk, 2) What is the development of the red onion trading system in Nganjuk district from 1995 to 2012, 3) What is the influence of red onion trade in Nganjuk district on improving people's lives in Rejoso sub-district, Nganjuk Regency. The study was conducted using 4 stages, namely heuristic, source criticism, interpretation and historiography.
The results of this study confirm that the onion trading system in Nganjuk starts at the week before harvest, where the penebas will make an offer transaction to the farmers. After an agreement was made when harvesting shallots, the slicer was immediately brought to the collectors. Collectors carry out a post-harvest process so that red onions are ready to be traded and sent to Tengkulak or distributors throughout Java, Sumatra and Kalimantan.
In 1995 the shallot trade in Nganjuk still used a simple trading system to increase the more structured trade network between farmers, slaughterers, collectors, middlemen and traders, no longer just farmers and middlemen. In 1999 also the movement of the trade center was initially concentrated in the Sukomoro market to the villages producing red onion. Finally, in 2012 there was a new trading system that utilizes online media for the sale of shallots.
The change in this pattern also has several impacts in the Rejoso sub-district, as the largest onion-producing sub-district in Nganjuk for economic life, namely increasing livelihoods, the increasing value of Rejoso's investment and improving community welfare and social life. in the red onion trade and the emergence of community associations.
Keywords: Red Onion, Trade, Nganjuk