"TUNJUNG PUTIH" KARYA TARI DRAMATIK SEBAGAI UNGKAPAN PERJUANGAN SEORANG AYAH MENJALANKAN PERAN DOMESTIK
"TUNJUNG PUTIH" DRAMATIC DANCE AS AN EXPRESSION OF A FATHER'S STRUGGLE TO FOLLOW A DOMESTIC ROLE
Penciptaan tari Tunjung Putih berangkat dari fenomena pergeseran peran gender padahal dalam sistem Patriarki, gender seseorang mempengaruhi perannya dalam kehidupan. Laki-laki dewasa mendapatkan peran penting dan posisinya paling atas sedangkan perempuan mendapatkan posisi kedua yang berperan mengurus rumah tangga terutama di pulau Jawa. Perempuan Jawa selalu dikaitkan dengan tata krama kehidupan, istilah Jawa menyebutkan bahwa perempuan sebagai Kanca Wingking yang artinya perempuan sebagi teman belakang yang mengurus pekerjaan rumah. Istilah Dapur, Kasur, Sumur yang artinya perempuan bertugas memasak, melayani suami, dan mengasuh anak, budaya Patriarki telah membudaya dan tertanam dalam hati masyarakat seluruh dunia. Peran publik dimainkan oleh laki-laki sedangkan peran rumah tangga dimainkan oleh perempuan, namun seiring majunya zaman citra tersebut semakin bergeser akibat kebutuhan hidup semakin beragam dan harus terpenuhi, sehingga membuat perempuan berinisiatif bekerja membantu suami atau disebut wanita karir, yaitu perempuan aktif bekerja di sektor publik bahkan kesibukannya melebihi laki-laki. Saat ini tampak peran wanita sudah cukup besar sebagai contoh saat ini wanita aktif bekerja di pabrik, kantor, toko, bahkan menjadi tenaga kerja di luar negeri sehingga membawa pengaruh terhadap kehidupan khususnya kebiasaan di rumah, sebagai contoh saat ini seorang istri atau ibu yang aktif bekerja seharian menjadi terlena akan kedudukannya. Seorang istri atau ibu seharian sibuk bekerja akhirnya malas melakukan pekerjaan rumah karena merasa lelah bekerja dan lebih memilih istirahat dengan bermain gadget untuk menghilangkan penat, menghibur diri sambil menyanyi dan berjoget.
Oleh karena banyak ditemui pergeseran peran gender yakni peran ibu rumah tangga (Domestik) yang biasa dilakukan seorang ibu namun dilakukan oleh suami, maka hal tersebut menjadi daya tarik bagi penulis sekaligus koreografer untuk mengungkapkannya menjadi sebuah koreografi. Karya terdahulu juga digunakan sebagai relevansi penciptaan karya ini, yaitu karya tari Gemblak karya Mamuk Rahmadona (2010) dan tari Bedhaya Gendheng karya R.M Kristiadi (2000). Tari Gemblak menceritakan hubungan seorang Gemblak laki-laki dengan Warok Ponorogo, Gemblak laki-laki berperan layaknya seorang perempuan yang menjalankan peran rumah tangga. Sedangkan tari Bedhaya Gendheng menggambarkan kondisi masyarakat yang semakin edan, tidak tertata, dan rancu pada masa reformasi. Relevansi kedua karya tersebut yaitu sama-sama mengangkat peristiwa pergeseran peran, laki-laki melakukan peran perempuan.
Fokus dalam penciptaan tari Tunjung Putih dibagi menjadi dua, yaitu bentuk dan isi. Bentuk berisi konsep tari tipe Dramatik, sedangkan isi yaitu perjuangan seorang ayah menjalankan peran Domestik. Koreografer mengungkapkan gagasan dengan menggunakan gaya tari Mataraman pengembangan dengan berpijak pada metode konstruksi I oleh Jacquiline Smith. Mode penyajian karya ini yaitu simbolis dan representatif, desain Dramatik menggunakan kerucut ganda berdasarkan teori La Meri. Musik tari diciptakan menggunakan softwarer (Midi) dan perekaman beberapan instrumen musik gamelan. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendeskripsikan bentuk penyajian tari Tunjung Putih meliputi judul, tema, sinopsis, gaya, teknik, tata rias dan busana, musik tari serta unsur pendukungnya. Proses penciptaan berdasarkan teori Y. Sumandiyo Hadi dan Jacquiline Smith. Koreografer melakukan proses kreatif dengan konsep pentas dalam ruangan.
Deskripsi pada karya tari Tunjung Putih yaitu alur, terdiri dari tanjakan-tanjakan suasana pada setiap adegannya. Teknik dan gaya pada garapan tari ini menggunakan tradisi gaya Mataraman yang berasal dari bentuk gerak tradisional yang dikembangkan dengan mengolah ketubuhan tujuh penari laki-laki agar dapat penyesuaikan karakter pada karya tari ini. Karena karya ini memiliki karakter bijaksana maka, tata rias ini mengikuti kebutuhan karya dengan mempertegas garis pada wajah agar gaya dan ciri khas karya ini tampak jelas dan menarik. Busana atasan menggunakan rompi bludru dan kebaya tile, bawahan menggunakan celana kulot yang menyerupai rok perempuan untuk memunculkan kesan feminim. Pementasan dilakukan secara virtual dengan rekaman kamera karena rekaman secara virtual lebih menarik tanpa harus berkumpul di tempat pertunjukan. Penataan ruang pentas dilengkapi perlengkapan seperti tata lampu, backdroop, karpet, dan trap untuk mendukung dinamika penguat suasana. Harapan terciptanya karya ini adalah memberi inspirasi dan sedikit mengubah pandangan masyarakat bahwa pekerjaan rumah tangga (Domestik) bukanlah kodrat perempuan namun laki-laki juga dapat melakukannya. Motivasi dalam karya ini bahwa didalam rumah tangga suami dan istri harus saling melengkapi, supaya urusan kehidupan dapat berjalan dengan baik.
Kata Kunci: Ungkapan, Ayah, Domestik, Dramatik.
The creation of the Tunjung Putih dance departs from the phenomenon of shifting gender roles even though in the Patriarchal system, a person's gender affects his role in life. Adult men get an important role and the top position, while women get a second position that plays a role in taking care of the household, especially on the island of Java. Javanese women are always associated with the manners of life, the Javanese term mentions that women are Kanca Wingking which means women are back friends who take care of housework. The term Kitchen, Mattress, Sumur which means women are in charge of cooking, serving husbands, and taking care of children, Patriarchal culture has been entrenched and embedded in the hearts of people all over the world. The role of the public is played by men while the role of the household is played by women, but as time advances the image is increasingly shifting due to the increasingly diverse needs of life and must be fulfilled, thus making women take the initiative to work to help their husbands or are called career women, namely women actively work in the industrial sector. The public is even more busy than men. Currently, it appears that the role of women is quite large, for example, currently women are actively working in factories, offices, shops, and even become workers abroad so that it has an influence on life, especially habits at home, for example, at this time a wife or mother who is actively working all day become complacent about his position. All day busy working, finally lazy to do homework because they feel tired from working and prefer to rest by playing gadgets to relieve fatigue, entertain themselves while singing and dancing.
Because there are many shifts in gender roles, namely the role of housewives (Domestic) which is usually done by a mother but is carried out by her husband, this has become an attraction for writers as well as choreographers to express it into a choreography. Previous works are also used as relevance to the creation of this work, namely the Gemblak dance by Mamuk Rahmadona (2010) and the Bedhaya Gendheng dance by R.M Kristiadi (2000). The Gemblak dance tells of the relationship of a male Gemblak with Warok Ponorogo, the male Gemblak acts like a woman who carries out household roles. Meanwhile, the Bedhaya Gendheng dance depicts the increasingly crazy, disorganized, and ambiguous condition of society during the reformation period. The relevance of the two works is that they both raise the event of a shift in roles, where men take on women's roles.
The focus in the creation of the Tunjung Putih dance is divided into two, namely form and content. The form contains the concept of a Dramatic type of dance, while the content is the struggle of a father to carry out a Domestic role. The choreographer expresses the idea by using the Mataraman dance style developed based on the construction method I by Jacquiline Smith. The mode of presentation of this work is symbolic and representative, Dramatic design using a double cone based on La Meri theory. Dance music was created using softwarer (Midi) and the recording of several gamelan instruments. Writing this thesis aims to describe the form of presentation of the Tunjung Putih dance including the title, theme, synopsis, style, technique, make-up and clothing, dance music and supporting elements. The creation process is based on the theory of Y. Sumandiyo Hadi and Jacquiline Smith. The choreographer carries out the creative process with the concept of an indoor stage.
The description of the Tunjung Putih dance work is the plot, consisting of the incline of the atmosphere in each scene. The techniques and styles in this dance use the Mataraman style tradition that comes from traditional forms of movement which were developed by processing the bodies of seven male dancers in order to adjust the characters in this dance work. Because this work has a wise character, this make-up follows the needs of the work by emphasizing the lines on the face so that the style and characteristics of this work are clear and attractive. Tops wear velvet vests and tile kebaya, subordinates use culottes that resemble women's skirts to create a feminine impression. The performance is done virtually with camera footage because the recording is virtually more interesting without having to gather at the venue. The arrangement of the stage space is equipped with equipment such as lighting, backdroop, carpet, and traps to support the dynamics of strengthening the atmosphere. The hope of creating this work is to inspire and slightly change people's views that (domestic) housework is not the nature of women but men can do it too. The motivation in this work is that in the household husband and wife must complement each other, so that life's affairs can run well.
Keywords: Expression, Father, Domestic, Dramatic.