PRAKTIK SOSIAL GAY DALAM BERINTERAKSI DI LINGKUNGAN MASYARAKAT SANTRI (Studi Kasus di Kabupaten Jombang)
GAY SOCIAL PRACTICES IN INTERACTING WITHIN THE SANTRI COMMUNITY (Case Study in Jombang Regency)
Fenomena gay telah menjadi isu sosial yang kerap diperbincangkan di masyarakat. Fenomena ini menjadi unik dibahas karena memunculkan beberapa pergeseran pandangan sosial, budaya, dan agama terkait adanya orientasi seksual. Penelitian ini berfokus pada keberadaan praktik sosial gay dalam berinteraksi dengan masyarakat santri di Kabupaten Jombang. Maraknya praktik sosial dan individu pengikut komunitas gay di Kabupaten Jombang, menjadi salah satu isu sosial yang diperdebatkan. Hal ini menarik untuk dikaji karena memunculkan perbedaan antara realitas yang ada di lapangan dengan realitas yang di harapkan oleh masyarakat yakni tentang citra dan kesan positif tentang Kabputen Jombang yang dikenal sebagai Kota Santri. Tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasi kondisi obyektif keluarga dan komunitas yang dimiliki oleh individu gay, mengidentifikasi modal sosial dan simbolik individu gay, mengidentifikasi habitus yang berekmbang dalam diri individu sebagai penghayatan diri menjadi seorang gay, mengidentisfikasi ranah dalam proses berinteraksi, dan menganalisis praktik sosial gay dalam berinteraksi dengan masyarakat santri di Kabupaten Jombang. Penelitian ini menggunakan perspektif teori Praktik Sosial dari Pierre Bourdie dengan rumus generative (Habitus x Modal) + Ranah/Arena = Praktik Sosial. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan studi kasus dari Robert K Yin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) kondisi obyektif lingkungan keluarga dan komunitas yang mempengaruhi pola fikir dan kehidupan bersosial para individu gay, seperti keterlibatan peran orang tua, pendidikan orang tua, kasih sayang keluarga, pertemanan dalam lingkungan komunitas, dan persamaan cara pandang antar anggota, sehingga mampu memberikan pengalaman dan ajaran dalam menentukan kehidupan yang akan dijalani. (2) adanya modal sosial sebagai strategi mendapatkan perlindungan, ruang aman, dan menemukan koneksi antar individu gay seperti, jaringan sosial/relasi, mendapatkan dukungan keluarga pengganti, dan tergabung dalam organisasi/komunitas. Adanya modal simbolik sebagai penguat identitas dan peran subyek gay di lingkungan masyarakat yakni peran senioritas dan junioritas, serta kemampuan memikat dengan menciptakan daya tarik tersendiri atau karisma. (3) terdapat habitus atau kebiasaan yang muncul pada setiap subyek sebagai pengimplementasi diri menjadi individu gay yakni pertama, terdapat kebiasaan dalam mengelola penampilan berdasarkan jenis penyebutan gender dengan menggunakan bahasa yang kaum gay pahami seperti ‘boty/bottom’ dan ‘top’. Kedua, kebiasaan dalam perilaku berhubungan seksual antar sesama jenis dengan cara sepihak/paksaan, suka rela, saling membutuhkan, dan kebutuhan materi. (4) adanya ranah atau ruang yang membentuk perilaku individu gay di lingkungan masyarakat santri yakni pertama, pengaruh relasi kuasa didalam pertemanan gay dengan heteroseksual dimana, proses interaksi dikendalikan oleh individu heteroseksual dengan menetapkan batas-batas tertentu. Kedua, relasi kuasa di dalam komunitas gay yang diikuti yakni, adanya kendali dalam proses interaksi yang dipegang oleh individu dengan kekuasaan tertinggi sehingga menciptakan konsep senioritas dan junioritas. (5) praktik sosial gay dalam berinteraksi di lingkungan masyarakat santri yang menemukan dua respon dominan dari masyarakat yakni pertama, masyarakat santri pendukung homoseksual atau gay dengan memberikan fasilitas seperti adanya kesempatan bagi individu gay untuk bericara di ruang public, menyampaikan aspirasi, ikut berpasrtisipasi dalam kegiatan sosial tanpa memandang identitas seksual. Kedua, adanya masyarakat santri yang menolak kehadiran kaum gay yakni dengan menghambat partisipasi maupun kehadiran mereka dalam ruang public, membatasi praktik sosial dengan mengadakan razia gabungan yang dilakukan oleh masyarakat dengan kepolisian, dan pembubaran acara yang diduga ajang perkumpulan kaum gay.
Kata Kunci : Gay, Interaksi Sosial, Kota Santri
The gay phenomenon has become a social issue that is often discussed in society. This phenomenon is unique to discuss because it has given rise to several shifts in social, cultural, and religious views related to sexual orientation. This study focuses on the existence of gay social practices in interacting with the santri community in Jombang Regency. The proliferation of social practices and individual followers of the gay community in Jombang Regency has become one of the social issues being debated. This is interesting to study because it raises differences between the reality in the field and the reality expected by the community, namely the image and positive impression of Jombang Regency which is known as the City of Santri. The purpose of this study is to identify the objective conditions of families and communities owned by gay individuals, identify the social and symbolic capital of gay individuals, identify the habitus that develops in individuals as a self-appreciation of being gay, identify the realm in the interaction process, and analyze gay social practices in interacting with the santri community in Jombang Regency. This study uses the perspective of Pierre Bourdieu's Social Practice theory with the generative formula (Habitus x Capital) + Realm / Arena = Social Practice. The method used in this study is qualitative with a case study approach from Robert K Yin. The results of the study indicate that (1) objective conditions of the family and community environment that influence the thought patterns and social lives of gay individuals, such as the involvement of parental roles, parental education, family affection, friendships in the community environment, and similarities in perspectives between members, so that they are able to provide experience and teachings in determining the life that will be lived. (2) the existence of social capital as a strategy to get protection, safe space, and find connections between gay individuals such as social networks/relationships, getting support from substitute families, and joining organizations/communities. The existence of symbolic capital as a reinforcement of the identity and role of gay subjects in the community environment, namely the role of seniority and juniority, and the ability to charm by creating their own appeal or charisma. (3) there is a habitus or habit that appears in each subject as an implementer of themselves becoming gay individuals, namely first, there is a habit in managing appearance based on the type of gender designation using language that gays understand such as 'boty/bottom' and 'top'. Second, habits in sexual behavior between the same sex in a unilateral/forced, voluntary, mutually needy manner, and material needs. (4) the existence of a realm or space that shapes the behavior of gay individuals in the santri community, namely first, the influence of power relations in gay and heterosexual friendships where the interaction process is controlled by heterosexual individuals by setting certain boundaries. Second, the power relations in the gay community that are followed, namely, the existence of control in the interaction process held by individuals with the highest power so as to create the concept of seniority and juniority. (5) gay social practices in interacting in the santri community that find two dominant responses from the community, namely first, the santri community supports homosexuals or gays by providing facilities such as opportunities for gay individuals to speak in public spaces, convey aspirations, participate in social activities without regard to sexual identity. Second, the existence of a santri community that rejects the presence of gays, namely by inhibiting their participation or presence in public spaces, limiting social practices by holding joint raids carried out by the community with the police, and disbanding events suspected of being gay gatherings.
Keywords: Gay, Social Interaction, Santri City