KARYA TARI MANDAYA MUNJUNG SEBAGAI UNGKAPAN ANTUSIASME MASYARAKAT DALAM RITUAL KUNINGAN SAPI DENGAN BENTUK TARI DRAMATIK MELALUI PENDEKATAN KOREOGRAFI LINGKUNGAN

MANDAYA MUNJUNG DANCE WORK AS AN EXPRESSION OF COMMUNITY ENTHUSIASM IN KUNINGAN SAPI RITUAL WITH DRAMATIC DANCE FORM THROUGH ENVIRONMENTAL CHOREOGRAPHY APPROACH

Fenomena yang diangkat pada karya tari Mandaya Munjung adalah ritual Kuningan Sapi di Desa Ngetos Kabupaten Nganjuk yang kurang dieksplor dan dipromosikan dengan baik. Ritual Kuningan Sapi merupakan suatu prosesi adat istiadat yang bertujuan untuk mendo’akan hewan ternak sapi agar mendapatkan keberkahan dan dijauhkan dari musibah kematian sapi. Hal ini dikarenakan sapi merupakan salah satu tenaga kerja yang membantu petani untuk mempermudahkan pekerjaan mereka dalam menafkahi kehidupan dan kebutuhan keluarganya. Kepercayaan masyarakat akan kemanjuran do’a dalam ritual Kuningan Sapi menjadikan masyarakat desa tersebut tidak pernah absen dalam pelaksaan ritual yang dilakukan setiap 6 bulan sekali.  Fakta-fakta ini menjadikan daya tarik tersendiri oleh koreografer yang kemudian dijadikan referensi dan bahan untuk dijadikan sebuah karya tari dengan memperhatikan emosi atau suasana yang ditonjolkan. Selain itu hal yang penting adalah menyampaian pesan agar tetap menjaga dan melestarikan budaya yang menjadi ciri khas daerah. Dalam karya Mandaya Munjung terdapat dua fokus, yaitu fokus isi antusiasme masyarakat dalam melakukan ritual kuningan sapi sebagai bentuk tolak balak musibah kematian sapi, dan fokus bentuk yaitu tipe tari dramatik.

Dalam proses penciptaan koreografer menggunakan beberapa teori yang digunakan sebagai pijakan dalam menciptakan karya tari Mandaya Munjung. Adapun teori yang digunakan dalam penciptaan dan penulisan karya diantaranya yaitu teori ungkap dari Benedetto Croce, teori koreografi oleh Sal Murgianto, metode konstruksi 1, teori dramatik oleh Jacquelin Smith, dan teori koreografi lingkungan Hendro Martono. Selain itu hasil penciptaan karya terdahulu juga menjadi sebuah referensi mengenai konsep, teknik dan penggunaan ruang untuk memperlihatkan bukti keorisinalitas setiap karya.

Karya tari Mandaya Munjung menggunakan metode pendekatan dari Jacquelin Smith yaitu metode konstruksi 1, yang terdiri dari tahapan rangsang awal, menentukan tipe tari, metode penyajian, improvisasi, evaluasi dan improvisasi, seleksi dan penghalusan, serta motif. Langkah selanjutnya adalah menentukan konsep pada karya Mandaya Munjung yang terdiri dari tema antusiasme masyarakat dalam melakukan ritual dan kemudian diberi judul Mandaya Munjung. Di dalam karya ini terdapat 5 adegan atau alur yaitu adegan 1 (introduksi), adegan 2, adegan 3, adegan 4 (klimaks), adegan 5 (penurunan dan ending). Jenis karya ini adalah tipe tari dramatik dengan mode penyajian representative simbolis dengan menggunakan teknik olah tubuh dan gerak tari tradisional gaya Jawa Timur Mataraman yang telah dikembangkan, dan dipentaskan dengan konsep koreografi lingkungan. Unsur pendukung dalam karya ini meliputi tata rias dan busana, tata teknik pentas, properti,  dan iringan tari. Langkah berikutnya setelah melakukan perencanaan adalah proses penciptaan yang meliputi rangsangan awal, eksplorasi dan kerja studio, improvisasi, evaluasi, seleksi dan penghalusan, serta teknik penyampaian.

Analisa pada karya tari Mandaya Munjung yang pertama pada alur cerita yang terdiri dari tanjakan-tanjakan emosi atau suasana pada setiap adegannya. Gaya dan teknik yang digunakan dalam tari ini menggunakan gerak-gerak tari tradisi Jawa Timuran yang dikembangkan dan dipadukan dengan teknik olah tubuh. Karya tari ini ditampilkan oleh 5 penari putri dengan tata rias yang sederhana, dengan penggunanan warna eyeshadow berwarna coklat untuk mempertegas garis wajah. Busana yang digunakan juga mencerminkan masyarakat desa yang terdiri dari kebaya kutu baru dan menggunakan bawahan rok berwarna coklat. Karya tari ini dipentaskan di lingkungan yang disesuaikan dengan konsep pada setiap adegannya sebagai penunjang suasana yang akan ditampilkan. Iringan tari Mandaya Munjung menggunakan musik digital tradisional-kontemporer yang terdiri dari keybord, siter, gender, rebab, perkusi, peking, dan suling. Sedangkan property yang digunakan adalah iker atau tempat meletakkan sebuah persembahan atau sajen pada ritual Kuningan Sapi yang terbuat dari pelepah pisang.

Karya tari Mandaya Munjung memiliki tema antusiasme. Karya tari ini terdapat dua fokus yaitu fokus isi antusiasme masyarakat dalam melakukan ritual Kuningan Sapi sebagai tolak balak musibah kematian sapi, dan fokus bentuk tari dramatik yang semata-mata tidak menggelarkan cerita melainkan menonjolkan emosi-emosi disetiap adegannya. Antusiasme yang dimaksud dalam karya tari ini adalah semangat masyarakat Desa Ngetos melakukan ritual Kuningan Sapi, selain itu kepercayaan yang mendalam akan kemujarapan do’a dalam ritual ini sangat diyakini oleh masyarakat setempat hingga sampai saat ini ritual Kuningan Sapi masih tetap dilestarikan dan dilaksanakan. Karya tari ini ditarikan oleh 5 orang penari dengan menggunakan busana kebaya kutu baru dengan bawahan menggunakan rok. Properti yang digunakan adalah iker atau wadah untuk tempat meletakkan persembahan ritual yang terbuat dari pelepah pisang. Tari Mandaya Munjung dipentaskan dengan konsep koreografi lingkungan dimana lingkungan menjadi inspirasi dalam proses pengkaryaan. Adapun lingkungan yang dijadikan sebagai tempat pertunjukan adalah punden,lapangan dan kandang sapi.

Kata kunci : Kuningan Sapi, antusiasme, dramatik, ritual, ungkapan

The phenomenon raised in Mandaya Munjung's dance work is the Kuningan Sapi ritual in Ngetos Village, Nganjuk Regency, which is not well explored and promoted. The Kuningan Sapi Ritual is a traditional procession that aims to pray for cattle to get blessings and be kept away from the calamity of cow death. This is because cows are one of the workers who help farmers to facilitate their work in supporting the life and needs of their families. The community's belief in the efficacy of prayer in the Kuningan Sapi ritual makes the village community never absent in the implementation of the ritual which is carried out every 6 months. These facts make the choreographer special attraction which is then used as a reference and material to be made into a dance work by paying attention to the emotion or atmosphere that is highlighted. In addition, the important thing is to convey the message in order to maintain and preserve the culture that is characteristic of the region. In Mandaya Munjung's work, there are two focuses, namely the focus of the content of the enthusiasm of the community in performing the brass cow ritual as a form of rejection of the calamity of the death of a cow, and the focus of form, namely the type of dramatic dance.

In the process of creating the choreographer using several theories that are used as a foothold in creating the Mandaya Munjung dance work. The theories used in the creation and writing of works include the theory of expression by Benedetto Croce, theory of choreography by Sal Murgianto, construction method 1, dramatic theory by Jacquelin Smith, and theory of environmental choreography by Hendro Martono. In addition, the results of the creation of previous works also become a reference on concepts, techniques and the use of space to show evidence of the originality of each work.

Mandaya Munjung's dance work uses the approach method of Jacquelin Smith, namely the construction method 1, which consists of the initial stimulation stages, determining the type of dance, the method of presentation, improvisation, evaluation and improvisation, selection and refinement, and motifs. The next step is to determine the concept in Mandaya Munjung's work which consists of the theme of community enthusiasm in performing rituals and then given the title Mandaya Munjung. In this work there are 5 scenes or plots, namely scene 1 (introduction), scene 2, scene 3, scene 4 (climax), scene 5 (decrease and ending). This type of work is a type of dramatic dance with a symbolic representation mode of presentation using body techniques and traditional dance movements of the East Javanese Mataraman style that have been developed, and staged with the concept of environmental choreography. The supporting elements in this work include make-up and clothing, stage technique, props, and dance accompaniment. The next step after planning is the creation process which includes initial stimulation, exploration and studio work, improvisation, evaluation, selection and refinement, and delivery techniques.

The analysis of the first Mandaya Munjung dance work on the storyline which consists of emotional or mood climbs in each scene. The styles and techniques used in this dance use traditional East Javanese dance movements that were developed and combined with bodybuilding techniques. This dance work is performed by 5 female dancers with simple make-up, using brown eyeshadow to emphasize facial lines. The clothes used also reflect the village community, which consists of a new kebaya and wearing a brown skirt. This dance work is performed in an environment that is adapted to the concept of each scene to support the atmosphere that will be displayed. Mandaya Munjung's dance accompaniment uses traditional-contemporary digital music consisting of keyboard, siter, gender, fiddle, percussion, pekingese, and flute. While the property used is iker or a place to put an offering or offering at the Kuningan Sapi ritual made from banana stems.

Mandaya Munjung's dance work has a theme of enthusiasm. This dance work has two focuses, namely the focus of the content of the enthusiasm of the community in carrying out the Kuningan Sapi ritual as a starting point for the calamity of the death of a cow, and the focus of a dramatic dance form which does not merely tell a story but emphasizes the emotions in each scene. The enthusiasm referred to in this dance work is the spirit of the Ngetos Village community to carry out the Kuningan Sapi ritual, besides that deep belief in the efficacy of prayer in this ritual is strongly believed by the local community to this day the Kuningan Sapi ritual is still preserved and implemented. This dance work is danced by 5 dancers using the new flea kebaya with the subordinates wearing skirts. The property used is an iker or a container for placing ritual offerings made from banana fronds. The Mandaya Munjung dance is staged with the concept of environmental choreography where the environment becomes the inspiration in the creation process. The environment used as the venue for the show is the punden, the field and the cowshed.

Keywords: Kuningan Sapi, enthusiasm, dramatic, ritual, expression