Kesesuaian tindak tutur diperlukan guru untuk dapat menciptakan peluang belajar secara maksimal bagi siswa. Tindak tutur guru yang fasilitatif dan berkontribusi terhadap proses belajar mengajar membawa mereka sukses belajar bahasa. Meskipun begitu, kelas merupakan konteks sosial dimana bahasa pengantar digunakan saling berkomunikasi baik untuk fungsi sosial maupun instruksional. Di lain pihak, bahasa pengantar guru pada dasarnya berorientasi pada lebih dari satu variabel tujuan yang menuntut tindak tutur yang berbeda. Jadi, memilih tindak tutur yang sesuai itu tidak mudah karena guru harus mempertimbangkan konteks dan keefektifan penggunaan tindak tutur tersebut. Penelitian ini menganalisa bagaimana tindak tutur guru yang digunakan untuk menciptakan peluang belajar dalam interaksi kelas.

Penelitian ini dilakukan pada kelas Lintas Minat di salah satu sekolah menengah atas Kediri. Subyek penelitian ini adalah seorang guru bahasa Inggris yang mengajar di kelas tersebut. Sumber data utama penelitian ini adalah dalam bentuk ujaran-ujaran guru yang diperoleh dari transkripsi video proses belajar mengajar di kelas.  Data pendukung penelitian ini diperoleh dari interview dengan guru yang direkam dan ditranskripsi dan dokument yang tersedia berupa RPP dan materi ajar. Data penelitian ini adalah tindak tutur guru yang digunakan dalam berinteraksi dengan siswa, konteks interaksi kelas yang terjadi, dan strategi guru dalam memfasilitasi siswa dalam belajar bahasa.Tindak tutur guru dianalisa dengan menggunakan teori tindak tutur dari Austin dan Searle dalam domain analisa wacana kelas sedang konteks dan strategi penggunaanya dalam memfasilitasi siswa belajar di dukung dengan kerangka interaksi kelas dari Walsh.

Penemuan utama dari penelitian ini adalah signifikansi perbedaan/keunikan penggunaan tindak tutur dalam interaksi kelas pembelajaran bahasa Inggris sebagai bahasa asing. Dilihat secara utuh dari tingkat pemakainnya, tindak tutur direktif  paling banyak digunakan, disusul tindak tutur asertif, kemudian ekspresif, deklaratif dan yang paling kecil adalah komisif. Tindak tutur guru digunakan untuk tujuan pengelolaan kelas, tujuan instrucsional dan tujuan social dalam wacana kelas. Dalam pembelajaran menyimak dan membaca, implementasi tindak tutur tersebut tercermin pada mode interaksi kelas  yaitu manajerial, pembelajaran makna bahasa, pembelajaran bentuk bahasa pada jenis interaksi guru-siswa. Sedangkan mode konteks kelas terjadi dalam interaksi siswa dengan siswa di mana siswa melakukan presentasi kelompok. Tujuan pembelajaran seperti mengekspresikan perasaan, emosi, pengalaman, tingkah laku, reaksi dan hubungan personal dan sebagainya tidak terselesaikan dengan baik karena tujuan utama kegiatan ini hanya untuk pemahaman, bukan untuk mempraktikan bahasa.

Pembelajaran menyimak dan membaca ini tujuan pokoknya adalah agar siswa memahami dasar-dasar sistem bahasa dan mampu menggunakan sistem tersebut dalam berkomunikasi. Sistem bahasa tersebut dikembangkan dengan latihan berbasis input (pemaparan terhadap input bahasa) untuk memfasilitasi proses belajar bahasa. Proses latihan berbasis input ini pada umumnya menggunakan tindak tutur representatif. Tindak tutur ini termasuk skafolding (reformulasi, perluasan, model), koreksi langsung, umpan balik konten (komen), melengkapi giliran siswa, dan umpan balik bentuk bahasa (pengulangan, koreksi ekplisit).Sedangkan kemampuan menggunakan bahasa dengan lancar dikembangkan melalui latihan berbasis output yang secara umum menggunakan tindak tutur direktif. Tindak tutur ini termasuk pertanyaan referensial (bertanya), meminta penjelasan, meminta konfirmasi, meminta pengulangan, elisitasi. Dalam pandangan bahwa belajar adalah melakukan tindakan, kesempatan belajar dalam interaksi kelas tercipta dalam bentuk percakapan dimana siswa merespon tindak tutur direktif guru khususnya tindak tutur elisitasi dalam tuturan bertanya.

Kesimpulan dari hasil penelitian ini adalah bahwa pada dasarnya kelima jenis tindak tutur dari Searle di gunakan oleh guru dalam interaksi kelas namun dengan fungsi yang berbeda-beda. Tindak tutur guru digunakan untuk mengelola kegiatan belajar, untuk memberikan materi ajar, dan untuk fungsi social. Berorientasi pada kontek tujuan, dalam mengajar ketrampilan menyimak dan membaca, guru menggunakan secara dominant tindak tutur direktif dan representatif. Direktif kontrol untuk siswa melakukan kegiatan belajar secara non-verbal dan direktif bertanya untuk siswa memproduksi bahasa secara lisan. Representatif digunakan guru untuk memberikan input kebahasaan yang fungsinya untuk memfasilitasi proses belajar itu sendiri.Direktif bertanya digunakan untuk membuat siswa berbicara karena siswa tidak terbiasa aktif berinteraksi sehingga diperlukan inisiasi dari guru. Terkait dengan fungsi-fungsi tersebut, tindak tutur guru layak dipertimbangkan dalam design pembelajaran dan guru harus menjadikannya sebagai ketrampilan mengajar karena tindak tutur harus digunakan pada konteks yang tepat.

The appropriate use of speech acts is required by a teacher to be able to give maximum learning opportunity to students. The facilitative teacher’s speech acts make them  successful in learning language. However, classroom is a social context in which the language  is used for both relational and instructional function for participants to interact with each other. On the other hand, classroom language is basically goal oriented with more than one variables in which each variable perhaps requires distinct speech acts. Thus, choosing appropriate  speech acts is not an easy task because the teacher should consider the contexts and effectiveness of the speech act use. Common problem occuring in classroom interaction is that teachers’ speech acts used are sometimes appropriate and sometimes not with their context of classroom interaction. The problem is even serious due to using English while English is a foreign language which potentially causes trouble in lesson delivery. This study examines how the teacher’s speech acts are utilized to provide learning opportunity in classroom interaction.

The research was conducted in Lintas Minat English classroom of a senior high school in Kediri. The subject of the study is an English teacher who teaches this class. The main data, in the form of teacher’s utterances, were obtained from the trancribed video recording. The supporting data were obtained from the transcribed interview to the English teacher and the available document. The data of this study is the teacher’s speech acts that serve as teaching acts and as facilitation to language learning which is then analyzed using Searlean speech act category under the domain of discourse study.

The main finding of this research is the significant articularity/difference of the speech act use in EFL classroom interaction. Viewed  from its order of frequency, from the highest to the lowest, they are  directive, representative, expressive, declarative, and commissive respectively. The teacher’s speech acts were used for framework goals, core goals, and social goals of classroom discourse manifested in the classroom interaction modes which occured based on the  pedagogic goals of language learning and types of interaction. The classroom modes/contexts of interaction which occured in listening and reading classes were more of managerial as a support to the other modes, material, skill and system modes in teacher-student(s) interaction. The classroom context mode occured in student-student interaction in which the pedagogic goal to enable learners to talk about feelings, emotions, experience, attitudes, reactions, and personal relationships was not really well performed. This is because the focus was on comprehension while classroom context mode was designed mainly for language production.

In listening and reading lesson, the focus of the core goals was for students to know the underlying system of the language and be able to use this system for communication. The underlying linguistic system was developed through exposure to language input by intentionally presenting the language to facilitate the process of language learning. This input-based  practice process was mostly served through the teacher’s representative speech acts. These include Scaffolding (reformulating learner’s contribution, extending learner’s contribution, and prompt), Direct repair ( correcting error), Content feedback (comment), Teacher echo (repetition), Extended teacher turn (explaining), Turn completion (completing L’s turn), and Form-focused feedback (repetition, explicit correction). The ability to use language fluently, on the other hand, was developed through output-based practice which mostly used teacher’s directive speech acts. These include  Referential questions (asking questions), Seeking clarification (asking for clarification), Confirmation checks (asking for confirmation), Display questions (elicitation), Form-focused feedback (elicitation, asking for clarification). Thus, it can be inferred that in term of learning as doing, learning opportunities in the classroom interaction occur in conversation mostly with the teacher’s directive speech acts especially eliciting in the form of questioning.

In conclusion, teacher’s speech acts hold crucial role in the creation of learning opportunity. The five types of speech acts were used based on the functions they carried. In language learning both input and output should be taken into into consideration, suggesting that conversational interaction was an important means for learners to gain access to comprehensible input as well as for opportunities to produce linguistic output. From this fact, the consideration toward the role of language in classroom interaction should be raised. The speech act use should also be involved in the curriculum design and in the process of TEFL course. The classroom language need to be introduced to English teachers because of the fact that speech act use is highly context dependent.