Peristiwa perkawinan harus dicatatkan dan memiliki bukti autentik yang berupa akta nikah karena dengan akta nikah, sepasang suami istri dapat melakukan perbuatan hukum termasuk dalam pembuatan dokumen kependudukan. Pasal 10 ayat (2) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 108 Tahun 2019 menjelaskan bahwa penerbitan Kartu Keluarga (KK) baru dapat dilakukan dengan memenuhi persyaratan sesuai dengan Peraturan Presiden Mengenai Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil dan dilengkapi dengan Surat Pernyataan Tanggung Jawab Mutlak (SPTJM) perkawinan/perceraian belum tercatat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis penggunaan SPTJM perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai syarat pelengkap dalam pembuatan KK dan akibat hukum penggunaan SPTJM perkawinan/perceraian belum tercatat sebagai syarat pelengkap dalam pembuatan KK. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konsep (conceptual approach) mengenai isu yang dibahas. Teknik pengumpulan data menggunakan studi kepustakaan dengan mengumpulkan bahan hukum primer diperoleh dari peraturan perundang-undangan dan bahan hukum sekunder melalui buku-buku hukum, jurnal hukum, kamus hukum, dan bahan non hukum. Metode analisis bahan hukum dengan analisis preskriptif dan untuk menjawab isu hukum digunakan metode interpretasi hukum. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa penggunaan SPTJM perkawinan/perceraian belum tercatat merupakan solusi dari pemerintah untuk mewujudkan tertib administrasi kependudukan di tengah masyarakat, namun solusi tersebut belum tepat. Masyarakat masih bisa mengajukan permohonan isbat nikah ke Pengadilan Agama untuk mendapatkan akta nikah. Akibat hukum dari penggunaan SPTJM perkawinan/perceraian belum tercatat antara lain masyarakat memiliki peluang untuk tidak mencatatkan perkawinannya, sehingga dapat menyebabkan perkawinannya menjadi tidak sah secara hukum dan anak yang dilahirkan statusnya adalah anak luar kawin.
Marriage events must be registered and has authentic evidence in the form of a marriage certificate because its document can carry out legal actions including in making population documents for a husband and a wife. Article 10 section (2) of the Minister of Home Affairs Regulation Number 108 of 2019 explains that the issuance of a new Family Card (KK) can be carried out by fulfilling the requirements in accordance with the Presidential Regulation Regarding Requirements and Procedures for Population Registration and Civil Registration and is accompanied by a Statement of Absolute Responsibility (SPTJM) marriage/divorce has not been recorded. The purpose of this study is to analyze the use of the marriage/divorce SPTJM that has not been recorded as a complementary requirement in making a KK and the legal consequences of using a marriage/divorce SPTJM that has not been recorded as a complementary requirement. This research is a normative legal research using a statute approach and a conceptual approach regarding the issues discussed. The data collection technique used literature study by collecting primary legal materials obtained from statutory regulations and secondary legal materials through legal books, legal journals, legal dictionaries, and non-legal materials. The method of analyzing legal materials is prescriptive analysis. Moreover, The method of legal interpretation is used to answer legal issues. The results of the discussion show that the use of the unregistered SPTJM marriage/divorce is a solution from the government to create an orderly population administration in community, but the solution is not appropriate yet. The public can still apply for a marriage certificate to the Religious Courts to obtain a marriage certificate. The legal consequences of using unregistered marriage/divorce SPTJM include the public having the opportunity not to register their marriages, so it can cause their marriages to be legally invalid and the status of children born out of wedlock.