KAJIAN HISTORTIS PRASASTI DALAM JEJAK KEKUASAAN RAJA AIRLANGGA DI KOTA LAMONGAN PADA ABAD KE-11
HISTORICAL STUDY OF INSCRIPTIONS IN THE TRACE OF THE POWER OF KING AIRLANGGA IN LAMONGAN CITY IN THE 11TH CENTURY
Airlangga diangkat menjadi Raja pada tahun 1019 M dengan gelar Sri Mahraja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikramottunggadewa. Ia berhasil menyatukan kerajaan dan mengangkatnya dari keterpurukan, sekaligus memperbaiki kehidupan politik, ekonomi, sosial dan keagamaan. Menurut tiga prasasti yakni Prasasti Cane tahun 1021 M, Prasasti Kamalagyan 1036 M, dan Prasasti Pamwatan 1042 M, pusat pemerintahan kerajaan Airlangga mengalami tiga kali perpindahan mulai dari Wwatan Mas, Kahuripan, dan Dahanapura
Penelitian ini membahas (1) Alasan Airlangga memilih kota Lamongan sebagai pusat pemerintahan pada abad ke-11 (2) Kebijakan yang dilakukan Raja Airlangga selama memerintah di kota Lamongan pada abad ke- 11 (3) Keputusan Raja Airlangga membagi kerajaan menjadi dua bagian. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah dengan pendekatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Adapun Langkah-langkah yang dilakukan dalam menggunakan metode sejarah adalah heuristic, kritik, interpretasi, dan historiografi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Raja Airlangga memilih kota Lamongan sebagai pusat pemerintahan (Karton) pada abad ke-11 karena Lamongan merupakan wilayah yang strategis dari sudut ekonomi, politik, pertahanan, bahkan konsepsi keagamaan. Sehingga hal tersebut jelas akan menjadi tempat sanggahan atau sasaran para penguasa. Selain itu, ingin merubah sistem kerajaan yang dulunya bersifat pedalaman/agraris menjadi maritim. Dalam pemerintahannya, Airlangga juga telah mengeluarkan prasasti batu berjumlah sekitar 45, sebagian masih berada di tempatnya (in situ). Hasil pendataan fisik prasasti (2016), jumlah prasasti yang masih berada di tempatnya (in situ) terdapat sebanyak 26 buah prasasti, 4 diantaranya dalam keadaan patah dan pecah. Kebijakan yang dilakukan Raja Airlangga selama memerintah di kota Lamongan pada abad ke- 11 adalah kebijakan dalam bidang politik, ekonomi, keagamaan, dan kebudayaan. Masa berakhirnya Kerajaan Airlangga, Raja Airlangga membuat keputusan dengan membagi kerajaan menjadi dua bagian yakni Panjalu dan Jenggala yang bertujuan untuk menghindari terjadinya perang saudara atau perselisihan dan pertempuran di antara kedua anaknya.
Kata Kunci : Airlangga, Pusat Pemerintahan, Prasasti, Lamongan
Airlangga was appointed King in 1019 M with the title Sri Mahraja Rakai Halu Sri Dharmawangsa Airlangga Ananta Wikramottunggadewa. He succeeded in uniting the kingdom and lifting it from adversity, as well as improving political, economic, social and religious life. According to three inscriptions, namely the Cane Inscription of 1021 M, the Kamalagyan Inscription of 1036 M, and the Pamwatan Inscription of 1042 M, the seat of the royal government of Airlangga underwent three transfers starting from Wwatan Mas, Kahuripan and Dahanapura
This study discusses (1) Airlangga's reasons for choosing the city of Lamongan as the center of government in the 11th century (2) The policies carried out by King Airlangga while ruling in the city of Lamongan in the 11th century (3) King Airlangga's decision to divide the kingdom into two parts. The method used in this study is a historical research method with political, economic, social, cultural and religious approaches. The steps taken in using the historical method are heuristics, criticism, interpretation, and historiography.
The results showed that King Airlangga chose the city of Lamongan as the center of government (Karton) in the 11th century because Lamongan was a strategic area from an economic, political, defense and even religious conception. So that it will clearly become a place of rebuttal or target of the authorities. Apart from that, they want to change the royal system which used to be inland/agrarian to become maritime. During his reign, Airlangga has also issued around 45 stone inscriptions, some of which are still in place (in situ). The results of the physical data collection of the inscriptions (2016), the number of inscriptions that are still in place (in situ) is 26 inscriptions, 4 of which are broken and broken. The policies carried out by King Airlangga during his reign in the city of Lamongan in the 11th century were policies in the political, economic, religious and cultural fields. When the Kingdom of Airlangga was over, King Airlangga made a decision by dividing the kingdom into two parts, namely Panjalu and Jenggala which aimed to avoid civil war or strife and fighting between his two children.
Keywords : Airlangga, Center Of Government, Inscription, Lamongan