Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana representasi identitas gay dalam Film “PRIA”. Film “PRIA” sendiri menceritakan kehidupan seorang remaja gay bernama Aris yang hidup di sebuah pedesaan Indonesia. Yang mana Aris digambarkan mendapatkan berbagai tekanan dari lingkungan tempat dia tinggal yang memiliki budaya heteronormatif. Penelitian ini menggunakan analisis wacana model Teun A. Van Dijk dengan tiga elemen yaitu analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pada analsis teks peneliti melihat gay digambarkan mendapatkan tekanan mulai dari paksaan untuk menikah hingga konsep maskulinitas. Sedangkan pada kognisi sosial, peneliti melihat bagaimana pembuat film melihat homoseksual di Indonesia masih mendapatkan persepsi yang negatif dan ingin mengampanyekan toleransi serta kesetaraan orientasi seksual. Begitupun pada konteks sosial, LGBT di Indonesia masih belum dapat diterima oleh masyarakat. Hal tersebut juga berbentuk pada hukum undang-undang yang berlaku hingga norma agama yang mengatur budaya heteronormatif. Secara umum homoseksual dalam masyarakat dengan budaya heteronormatif masih memiliki stigma negatif, selain dari hukum negara juga norma agama yang mengatur setiap manusia untuk hidup dengan budaya heteronormatif salah satunya dengan konsep pernikahan antara laki-laki dengan perempuan.
This research was conducted to find out how the representation of gay identiy in “PRIA” Film. The Film “PRIA” tells about the gay teenager’s life named Aris who lives in a rural Indonesia. Aris is described as getting some pressures from his living environment which has a heteronormative culture. This research used the Teun A. Van Dijk discourse analysis model with three elements, that is text analysis, social cognition, and social context. In the text analysis, researcher see gay was described as getting some pressures from forced to marriage to the concept of masculinity. Meanwhile in social cognition, researcher see how the filmmaker evaluate homosexuals in Indonesia still getting a negative perspectives and want to campaign for tolerance and equality. And in the social context, LGBT in Indonesia still unacceptable to the comunity. It’s also formed in a law and religious norm that arrange heteronormative culture. In general homosexuals in heteronormative culture still have a negative stigma, beside the law and religious norms that regulate every human to live with heteronormative culture, it’s also the concept of marriage between men and women.