ANALISIS YURIDIS PUTUSAN HAKIM NOMOR 92/PDT.G/2017/PN.JKT.SEL TENTANG PERBUATAN MELAWAN HUKUM ATAS PENGHENTIAN SEPIHAK PROSES PEMBANGUNAN APARTEMEN ANTASARI 45 JAKARTA SELATAN

JURIDICAL ANALYSIS OF JUDGE DECISION NUMBER 92 / PDT.G / 2017 / PN.JKT.SEL CONCERNING ACTIVITIES UNDER THE LAW TO TERMINATION OF PARTICIPATION OF THE PROCESS OF DEVELOPING THE 45 ANTASARI APARTMENTS JAKARTA

Permasalahan yang akan dibahas disini mengenai jual beli apartemen, kasus bermula saat penjual memberikan penawaran dan janji pembangunan proyek Apartemen 45 Antasari. Namun pembangunan terhenti tanpa alasan yang jelas. Padahal informasi tersebut merupakan hak pembeli dan penjual memiliki kewajiban untuk memberikan informasi yang jelas seperti yang dijelaskan dalam Pasal 4 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999  Tentang Perlindungan Konsumen. Namun penjual merasa telah memberikan informasi yang diminta penjual dan pembangunan tersebut karena keaadaan memaksa (force majeure) sehingga tidak dapat dihindari. Penelitian ini memiliki isu hukum kekaburan norma dalam putusan nomor 92/PDT.G/2017/PN.Jkt.Sel karena tergugat menunda pembangunan apartemen 45 antasari dengan alasan force majeure atau keadaan memaksa  namun tanpa ada jangka waktu yang jelas, tentunya hal tersebut merugikan bagi pihak penggugat. Metode yang digunakan metode interpretasi analogi bertujuan untuk mengetahui dan memahami dasar pertimbangan hakim pada putusan 92/PDT.G/2017/PN.Jkt.Sel dan memahami akibat hukum bagi para pihak. Kemudian metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan undang-undang, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus. Penelitian dilakukan dengan menggunakan sumber bahan hukum primer dan sekunder. Hasil penelitian pada skripsi ini adalah hakim menyatakan tergugat melakukan perbuatan melawan hukum karena tergugat tidak memberikan penjelasan terhentinya pembangunan apartemen yang mana hal tersebut merupakan kewajiban tergugat selaku penjual seperti yang dijelaskan dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Hal ini diperkuat dengan teori hoge raad bahwa perbuatan tergugat bertentangan dengan kewajiban hukumnnya sendiri (rechtsplitcht) karena para tergugat tmelanggar kewajibannya yaitu memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi apartemen.

The issue that will be discussed here is regarding the sale and purchase of an apartment, the case began when the seller made an offer and promised to build the 45 Antasari Apartment project. However, construction has stopped for no apparent reason. Even though this information is the right of the buyer and the seller has an obligation to provide clear information as described in Article 4 and Article 7 of Law Number 8 Year 1999 concerning Consumer Protection. However, the seller feels that he has provided the information requested by the seller and the development is due to force majeure so that it cannot be avoided. This research has a legal issue of norm obscurity in decision number 92 / PDT.G / 2017 / PN.Jkt.Sel because the defendant postponed the construction of the 45 Antasari apartment on the grounds of force majeure or forceful circumstances but without a clear time period, of course this is detrimental to the plaintiff. The method used by the analogy interpretation method aims to know and understand the basis for the judges' considerations in the decision 92 / PDT.G / 2017 / PN.Jkt.Sel and understand the legal consequences for the parties. Then the method used in this research is normative juridical using a statutory approach, conceptual approach, and case approach. The research was conducted using primary and secondary sources of legal materials. The result of the research in this thesis is that the judge stated that the defendant committed an illegal act because the defendant did not provide an explanation for the cessation of the apartment construction, which is the responsibility of the defendant as the seller as described in article 7 of Law Number 8 of 1999 concerning Consumer Protection. This is reinforced by the hoge raad theory that the defendant's actions are contrary to his own legal obligations (rechtsplitcht) because the defendants violated their obligations, namely providing true, clear and honest information about the condition of the apartment.