Korupsi merupakan kejahatan yang sulit dijangkau oleh hukum pidana, karena perbuatan para pelaku korupsi ini semakin canggih dan modern dalam melakukan aksi kejahatannya. Untuk memberantasnya memerlukan kemampuan berpikir aparat penegak hukum. Hal inilah yang mendorong pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi) dengan tujuan memberantas para koruptor agar tidak melakukan korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Namun, kasus Syafruddin menimbulkan polemik dimasyarakat karena MA memvonis putusan lepas, sehingga yang dipermasalahkan, apakah putusan hakim dalam Putusan No. 1555K/Pid.Sus/2019 sudah sesuai dengan tujuan UU Korupsi dan apakah proses penjatuhan putusannya sudah sesuai dengan kewenangan MA. Penelitian ini bertujuan menganalisis putusan hakim dalam putusan tersebut apa telah sesuai dengan tujuan dibuatnya UU Korupsi dan menganalisis proses penjatuhan putusan yang dilakukan Hakim telah sesuai dengan kewenangan MA. Penelitian normatif ini menggunakan pendekatan perundang-undangan, dan pendekatan kasus serta menggunakan analisis preskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa putusan hakim pada putusan tersebut tidak sesuai dengan tujuan disahkannya UU Korupsi yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas para koruptor agar tidak melakukan Korupsi yang dapat merugikan keuangan negara. Disamping itu UU Korupsi bertujuan agar koruptor mengembalikan kerugian negara akibat perbuatannya. Selainitu Hakim MA dalam proses penjatuhan putusan tersebut telah melampaui batas kewenangannya karena telah mengadili fakta yang telah diperiksa oleh pengadilan tingkat pertama dan banding.Dengan kata lain, Mahkamah Agung terkadang menempatkan dirinya sebagai pengadilan judex factie.