Selama ini masyarakat menganggap bahwa Lembaga Pemasyarakatan merupakan tempat orang-orang bersalah, berdosa dan terpidana. Namun sesuai Undang-Undang Pemasyarakatan bahwa penjara merupakan tempat dimana pembinaan dilaksanakan oleh narapidana. Dalam sistem pemasyarakatan telah diatur bahwa tujuan diadakannya lembaga pemasyarakatan untuk membentuk narapidana agar menjadi masyarakat yang memiliki sikap lebih baik. Pada abad ke-17 hingga ke-18, Foucault fokus membandingkan fenomena menghilangnya hukuman tanpa menyentuh tubuh yang dipertontonkan. Perubahan tersebut ditandai dengan melakukan strategi menghukum tepat sasaran tanpa menyentuh tubuh manusia. Pemenjaraan sebagai upaya pendisiplinan tubuh di Indonesia sesungguhnya masih menyimpan sejumlah problematika. Penelitian ini mengkaji pola-pola pendisiplinan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya dengan menggunakan metode kualitatif dengan perspektif Foucaultdian serta menggunakan konsep Foucault diantaranya disiplin tubuh, governmentality, biopower dan hypomnema yang termasuk bagian dari konsep panoptikon. Data ini dikumpulkan melalui observasi dan wawancara mendalam serta dengan menggunakan teknik analisis arkeologi dan geneologi. Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi diskursus narapidana mengenai sistem pengawasan, governmentality, biopower, dan pengetahuan tersembunyi (hypomnema) yang ada di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Surabaya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sistem pengawasan sudah mampu mendisiplinkan dengan wacana CCTV yang ada di kalangan narapidana yaitu “biasa aja” dan “takut”. Ungkapan “biasa aja” tidak merasa diintimidasi atau ditekan melainkan sesuai wacana yang ditemukan bahwa ia tetap menjaga tingkah lakunya. Menjaga perilaku menandakan bahwa CCTV telah berhasil menumbuhkan perasaan diawasi kepada narapidana. Kemudian wacana yang terbangun dari narapidana bahwa petugas atau sipir adalah “bersahabat”. Namun terminologi tersebut menghasilkan pelanggaran karena adanya negoisasi yang terjadi antara petugas dan narapidana. Sedangkan perasaan diawasi juga muncul dari narapidana melihat bahwa arsitektur bangunan yang ada di Lapas Kelas I Surabaya sudah cukup efektif. Wacana “sudah efektif” menandakan bahwa narapidana telah terpanotikon. Adanya menara (pos penjagaan atas) yang berjumlah 9 telah membuat napi merasa diawasi meskipun keberadaan menara tidak diketahui oleh para narapidana. Terakhir, wacana yang terbentuk oleh narapidana kepada tamping adalah “takut”, “biasa aja”, dan “bersahabat/merangkul” telah berhasil membuat beberapa narapidana merasa bahwa tamping memiliki tugas menjembatani antara petugas dan narapidana. Sedangkan konsep governmentality memiliki dua elemen yakni SDP dan regulasi (tata tertib tertulis). Keduanya dijalankan dalam sistem panoptisme yang mengandalkan wacana dalam pelaksanaannya. Namun regulasi gagal menciptakan kondisi panoptik bagi lingkungan lapas. Pembinaan adalah satu cara menjalankan biopower. Reformasi birokrasi lapas terdiri dari aspek perbaikan (restoration) diwujudkan dalam pembinaan kesadaran beragama, pembinaan kesadaran berbangsa dan bernegara, pembinaan kemampuan intelektual, lalu aspek penyediaan sumber-sumber daya (provision) diwujudkan dalam bentuk pembinaan kemandirian, dan aspek pencegahan (prevention) merupakan aspek dimana pendisiplinan dilakukan secara masif. Aspek ini berupaya mencegah terjadinya pengulangan tindak kejahatan.
Kata Kunci: Disiplin Tubuh, Narapidana, Lembaga Pemasyarakatan, Panoptikon
During this time the community considers that the Penitentiary is a place where people are guilty, sinful and convicted. However, according to the Penitentiary Act, prison is a place where guidance is carried out by inmates. In the penitentiary system, it has been arranged that the purpose of holding a penitentiary is to form prisoners to become better-behaved communities. In the 17th to 18th centuries, Foucault focused on comparing the phenomenon of disappearance of punishment without touching the contested body. These changes are characterized by a strategy of punishing right on target without touching the human body. Imprisonment as an effort to discipline the body in Indonesia actually still has a number of problems. This study examines disciplinary patterns that occur in Class I Penitentiary in Surabaya using qualitative methods with a Foucaultdian perspective and using the Foucault concept including body discipline, governmentality, biopower and hypomnema which are part of the concept of panopticon. This data was collected through observation and in-depth interviews and by using archeological and geneological analysis techniques. The purpose of this study is to identify prisoners' discourse regarding surveillance systems, governmentality, biopower, and hidden knowledge (hypomnema) that exist in Class I Penitentiary Surabaya.
The results of this study indicate that the surveillance system has been able to discipline with CCTV discourse that exists among prisoners that is "just ordinary" and "afraid". The phrase "just ordinary" does not feel intimidated or suppressed but rather according to the discourse found that he still maintains his behavior. Maintaining behavior indicates that CCTV has managed to foster a feeling of being watched by inmates. Then the discourse that arises from inmates that the officer or warder is "friendly". However, the terminology results in violations due to negotiations between officers and prisoners. While the feeling of being watched also arose from the prisoners seeing that the architecture of buildings in Lapas Class I Surabaya was quite effective. The discourse "has been effective" indicates that prisoners have been photographed. The existence of towers (top guard posts) totaling 9 has made prisoners feel monitored even though the whereabouts of the tower are unknown to the inmates. Finally, the discourse formed by prisoners to tamping is "fear", "ordinary", and "friendly/embracing" which has succeeded in making some inmates feel that tamping has the task of bridging between officers and prisoners. Whereas the concept of governmentality has two elements namely SDP and regulation (written order). Both are run in a panoptism system that relies on discourse in its implementation. But the regulation failed to create a panoptic condition for the prison environment. Coaching is one way to run biopower. Prison bureaucratic reform consists of aspects of improvement (restoration) manifested in the fostering of religious awareness, fostering national and state awareness, fostering intellectual abilities, then aspects of providing resources (provision) manifested in the form of fostering independence, and prevention aspects are aspects of prevention where discipline is done on a massive scale. This aspect seeks to prevent the occurrence of crime.
Keywords: Body Discipline, Prisoners, Correctional Institutions, Panopticon