Kemenangan Donald Trump pada Pemilu Presiden Amerika tahun 2016 menandai bangkitnya era Post-Truth dimana kebenaran objektif kalah penting oleh kebenaran emosional. Penelitian ini mengungkap penggunaan ekspresi-ekspresi bahasa emosi saat dia melakukan kampanye dan mendeskripsikan proses produksinya dimulai dari apa yang dia pikirkan saat menuturkan bahasa emosi tersebut, bagaimana dia menyampaikannya kepada audien, dan pesan apa yang ingin dia sampaikan melalui penggunaan ekspresi emosi tersebut. Tipe emosi yang dikaji adalah ketakutan, kehangatan, dan humor.
Data-data emosi yang diambil dari transkip pidato Donald trump saat kampanye dideteksi menggunakan teori skenario prototipe yang dikembangkan oleh Wierzbicka (1992). Kemudian data tersebut dilihat dan dianalisa menggunakan teori Linguistik Sistemik Fungsional (SFL) oleh Halliday dan Mathiessen (2004). Tiga metafungsi dalam SFL antara lain Ide, Interpersonal, dan Tekstual digunakan untuk menggambarkan ekspresi-ekspresi tersebut secara kualitatif.
Temuan-temuan penelitian ini menunjukkan bahwa penutur memiliki empat (4) pola ide ketika mengungkapkan emosi antara lain pola material, hubungan, mental, dan relasi pengandaian. Ekspresi-ekspresi tersebut disampaikan umumnya menggunakan kalimat deklaratif dengan penggunaan modalitas will yang dominan sebagai nilai tengah kewajiban. Gaya komunikasi yang ditemukan adalah pengulangan yang sangat dominant dari mulai kata hingga kalimat. Pesan yang ingin disampaikan oleh penutur melalui ekspresi emosi adalah masalah dan solusinya. Masalah diwakili oleh banyaknya penggunaan kata benda umum Hillary Clinton. Sedangkan solusi diwakili penggunaan kata ganti benda we. Lebih lanjut, penelitian ini memodifikasi teori emosi yang dikembangkan oleh SFL milik Halliday and Matthiessen.
The victory of Donald Trump in 2016 US Presidential Election marks the rise of Post-truth era at which objective truth is less important than the emotional truth. The present study investigates his language use of emotional expressions during his campaign and describes their production process beginning from what are in his mind, how he communicates them, and what messages they bring. The investigated emotions are fear, warmth, and humour.
The data on emotions which derives from the transcripted campaign speeches of Donald Trump are detectedusing prototype scenario theory developed by Wierzbicka (1992).They are, then, approached and analyzed using Halliday and Matthiessen’s Systemic Functional Linguistics (SFL) (2004). The three metafunctions within SFL, ideational, interpersonal, and textual, are employed to describe the expressions qualitatively.
The findings show the speaker has four (4) ideational patterns in expressing his emotions. Those are material, relational, mental, and conditional relation process. The expressions are communicated mostly in declarative sentences with dominant use of modality will as median value of obligation. His communication style reveals dominant use of repetition varying from lexical item to clausal level. The messages of the expressions contain the problem and its solution. The problem is represented by the exploitation of common noun Hillary Clinton as the unmarked topical theme. While the solution is represented by the use of pronoun we as the unmarked topical theme. Furthermore, the study modifies Halliday and Matthiessen’s SFL theory of emotion.