KEHIDUPAN SOSIAL DAN POLITIK REGENTSCHAP SIDOKARIE PASCA PEMEKARAN REGENTSCHAP SOERABAIJA TAHUN 1859 - 1862

SOCIAL  ALIFE AND POLITICAL REGENTSCHAP SIDOKARIE AFTER THE EXPANSION OF REGENTSCHAP SOERABAIJA IN 1859 - 1862

      Kajian tentang kondisi sosial politik di suatu wilayah selama ini terfokus kepada pergantian pemimpinnya saja. Data primer pada masa itu diambil dari arsip pemerintah sebagai bukti nyata untuk peristiwa yang pernah dirasakan oleh kaum masyarakat tengah. Surabaya adalah ibu Kota Karesidenan Surabaya di masa Hindia Belanda yang membawahi enam wilayah yaitu Gresik, Mojokerto, Lamongan, Jombang, dan Sidoarjo. Namun Kadipaten Surabaya kemudian terpecah menjadi dua, pada tahun 1859 berdasarkan Staatsblad No.6 yang dikeluarkan pada 31 Januari 1859, hal tersebut mengakibatkan perubahan kondisi sosial dan politik di Sidoarjo. Adapun beberapa metode penelitian yang digunakan antara lain (i) Pemilihan topik, (ii) Pengumpulan sumber, (iii) Verifikasi atau kritik, (iv) Interpretasi atau penafsiran, dan (v) Historiografi yang bersumber pada Nieuw Soerabaia, Oud Soerabaia, dan Jejak Sidoarjo dari Jenggala ke Suriname, disusunlah penelitian ini bermaksud mendapatkan data sejarah sejarah pemekaran wilayah Kadipaten Surabaya pada tahun 1859-1862 dan kondisi sosial dan politik pada saat pemekaran kota tersebut. Pada penelitian ini kondisi pemekaran wilayah tersebut mengakibatkan timbul permasalahan baru seperti cultuurstelsel di Pabrik Gula Watoetoelis merupakan salah satu eksportir gula prioritas atau utama pada masa pemerintahan Hindia Belanda, adanya penggolongan status sosial seperti pemilik lahan luas yang menjadi seorang haji,  pemberontakan antara petani dan pemerintah kolonial Belanda, serta Masjid Jami Al Abror yang menjadi pusat perkembangan Islam di Sidoarjo.

Kata Kunci: Sidoarjo, Sosial, Politik

So far, studies on socio-political conditions in an area have focused on changing leaders only. Primary data at that time was taken from government archives as tangible evidence for events experienced by the middle class. Surabaya was the capital of the residency of Surabaya during the Dutch East Indies era which was in charge of six regions, namely Gresik, Mojokerto, Lamongan, Jombang, and Sidoarjo. However, the Duchy of Surabaya was then split into two, in 1859 based on Staatsblad No. 6 issued on January 31, 1859, this resulted in changes in social and political conditions in Sidoarjo. The research methods used include (i) topic selection, (ii) source collection, (iii) verification or criticism, (iv) interpretation or interpretation, and (v) historiography sourced from Nieuw Soerabaia, Oud Soerabaia, and Jejak Sidoarjo from Jenggala to Suriname, this research was compiled to obtain historical data on the history of the expansion of the Duchy of Surabaya in 1859-1862 and the social and political conditions at the time of the division of the city. In this study, the condition of the expansion of the region resulted in new problems such as the cultuurstelsel at the Watoetoelis Sugar Factory which was one of the priorities or main sugar exporters during the Dutch East Indies government, the classification of social statuses such as the owner of a large land who became a hajj, rebellion between farmers and the colonial government. The Netherlands and the Jami Al Abror Mosque became the center of the development of Islam in Sidoarjo.

Keywords: Sidoarjo, Social, Politics